Sabtu, 16 Mei 2009

Sekolah Dolan, Model Home Schooling yang Inovatif

Malas ke Sekolah Formal Karena Harus Rebutan Komputer.

Ada banyak alternatif model pendidikan untuk anak. Selain lewat sekolah formal, bisa lewat sekolah non formal atau pendidikan luar sekolah (PLS). Malahan, saat ini mulai marak model home schooling, yakni sekolah di rumah seperti yang diselenggarakan Komunitas Sekolah Dolan Malang.KHOLID AMRULLAH ---"Anak saya yang pertama, Fadhil Arif, sekolah di SMAN 3 Kota Malang. Yang nomor dua dan nomor tiga tidak saya sekolahkan formal, tapi model home schooling," ujar Lukman Hakim, pengelola Komunitas Sekolah Dolan yang beralamat di Perum Vila Bukit Tidar.Sejenak kemudian, Lukman menyapa anak keduanya Nabil Ahmad Fathoni yang jika dia sekolah formal duduk di bangku kelas 3 SD. Saat itu, dia terlihat asyik membuka web otomotif bersama temannya, Civiro. Didampingi seorang tutor, keduanya belajar layaknya bermain di ruang seukuran 3 x 3 meter di rumah Lukman. "Meski anak saya tidak sekolah formal, tetapi kepandaiannya bisa menyamai anak-anak seumurannya yang sekolah formal," ujar Lukman. Nabil yang mendengar ucapan bapaknya itu hanya tersenyum malu.Menurut Lukman, Nabil sudah memiliki kemampuan seperti anak sekolah seusianya. Itu bisa diketahui saat tutornya memberikan soal-soal ujian pada sekolah formal. Malahan, kini dia juga menjadi jujugan teman-temannya di perumahan bila mereka ingin membuka situs di internet. "Dia itu sekarang juga menjadi operator internet, dia cepat sekali kalau diminta bantuan mencari data," terang lulusan teknik sipil UM ini. Selain itu, Nabil juga mahir membikin desain grafis. "Dia (Nabil, Red) mengaku paling suka dengan mobil. Dia membikin mainan desain grafis untuk baliho pameran mobil," ujar Lukman.Bocah yang terobsesi ingin menjadi penjual mobil dan membuka tempat cuci mobil itu, senang meski hanya belajar di rumah. Karena dia juga punya banyak teman di dunia maya. Saat ditanya keinginannya untuk sekolah formal, dia hanya geleng-geleng kepala alias tidak ingin sekolah SD formal.Demikian halnya dengan Civiro, anak seorang pengusaha ini mengaku bosan sekolah di sekolah formal SD. Alasan dia, banyak teman yang nakal, kemudian jika ke lab komputer harus rebutan dulu. "Di sini bebas, sepuasnya," ujar bocah dengan logat Jakarta ini. Jika Nabil suka sekali dengan otomotif, Civiro keranjingan elektronik. Lukman mengatakan, selain dua bocah tersebut masih ada 11 anak pra sekolah (TK), lima anak setara SMP, dan lima anak setara SMA. Kemudian untuk program after schooling ada empat siswa SD. "Kalau yang after schooling ini adalah anak-anak SD formal yang ingin belajar di home schooling ini," terang suami Titin Nurhanendah ini.Menurut laki-laki kelahiran 1966 ini, tekadnya untuk membuka home schooling itu muncul pada 2006 lalu. Ketika itu dia melihat beberapa kekurangan yang ada pada pendidikan formal. Misalnya, ketakutan anak terhadap ujian nasional, tekanan yang terlalu berat yang diterima para siswa hingga persoalan moral yang membuat banyak orang tua khawatir. "Lalu anak saya ini tidak saya masukkan ke sekolah formal," terang dia. Bersama istrinya, pasangan ini yakin mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya sesuai kebutuhan dan kurikulum di sekolah formal. Keuntungan lainnya, model home schooling ini juga memudahkan orang tua untuk mengontrol perkembangan pendidikan dan moral anak. Untuk menyelenggarakan program ini, dia juga melaporkan ke Diknas Kota Malang. Mendapat dukungan moral dari diknas, Lukman semakin bersemangat. Rupanya, cara Lukman ini ditiru sejumlah orang tua. Kemudian di antara orang tua anak home schooling itu mendirikan Komunitas Sekolah Dolan.Setelah menjadi komunitas, model pengajarannya ada bisa diubah. Misalnya, untuk pelajaran tertentu bisa bergabung antar peserta home schooling yang lain, tetapi untuk pelajaran lain terserah orang tuanya. Misalnya orang tua tidak siap untuk matematika, pada di komunitas anak tersebut tidak diajari matematika.Selain materi pelajaran, Komunitas Sekolah Dolan ini banyak jalan-jalannya. Biasanya anak-anak dan orang tuanya pergi ke tempat rekreasi atau out bond. Lalu berkunjung ke tempat-tempat yang bisa membangkitkan inspirasi anak.. "Jadi kami ini banyak sekali jalan-jalan, tetapi tetap ada pelajaran. Enak khan?" kata Lukman.Lukman mengatakan, para orang tua yang ingin home schooling harus benar-benar siap. Karena pelaksanaan home schooling juga tidak gampang. Orang tua dan tutor harus terus memantau perkembangan belajar anak dengan indikator-indikator yang jelas. Karena indikator itu nanti juga akan dilaporkan ke diknas.Lalu bagaimana ijazah mereka? Menurut Lukman, anak home schooling dibebaskan memilih untuk memiliki ijazah atau tidak. Jika ada yang ingin mendapat ijazah, mereka bisa mengikuti ujian paket A sampai C. Sehingga juga tetap bisa meneruskan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. "Di Jakarta itu sudah ada anak home schooling yang masuk UGM dan UI, ada juga yang masuk fakultas kedokteran," ujarnya.Menurut dia, anak home schooling itu juga ada yang tidak butuh ijazah. Mereka hanya butuh pengetahuan, karena untuk pekerjaan sudah ada dari usaha keluarga. Selain itu, anak home schooling juga harus ditanamkan untuk mandiri, tidak tergantung dengan orang lain.Keberadaan Komunitas Sekolah Dolan ini sendiri berada di bawah Komunitas Asah Pena Indonesia pimpinan Seto Mulyadi. Lukman sendiri juga menjadi ketua Komunitas Asah Pena wilayah Malang Raya. Dengan demikian, berbagai informasi bisa saling bertukar pengalaman dengan daerah lain.


sumber: jawa pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar