Rabu, 04 Maret 2009

PENDIDIKAN NON FORMAL MASIH TERMARJINALKAN

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan pada Undang-undang tersebut, sistem pendidikan nasional meliputi jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.


Jalur Pendidikan Non Formal (PNF)

Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui tiga jalur yaitu jalur pendidikan formal, non formal dan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Selanjutnya dalam Undang-undang Sisdiknas tersebut dijelaskan bahwa, pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Urgensi PNF

Sumberdaya Manusia Indonesia yang relatif rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain mencerminkan adanya kekeliruan dalam pengelolaan pembangunan khususnya dalam pembanguan pendidikan dan kesehatan. Hal ini bisa dilihat dari pencapaian angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2005 yang menempati urutan 110 dari 177 negara, dengan indeks 0.697, turun dari posisi sebelumnya di urutan 102 dengan indeks 0.677 pada tahun 1999. Posisi ini cukup jauh dibandingkan negara-negara tetangganya, seperti Malaysia (urutan 61/0.796), Thailand (urutan 73/0.778), Filipina (urutan 84/0.758) dan Vietnam (urutan 108/0.704).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut PBB adalah nilai yang menunjukkan tingkat kemiskinan, kemampuan baca tulis, pendidikan, harapan hidup, dan faktor-faktor lainnya pada negara-negara di seluruh dunia. Nilai IPM menunjukkan pencapaian rata-rata pada sebuah negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yakni (1) Usia yang panjang dan sehat, yang diukur dengan angka harapan hidup; (2) Pendidikan, yang diukur dengan tingkat baca tulis dengan pembobotan dua per tiga, serta angka partisipasi kasar dengan pembobotan satu per tiga; dan (3) Standar hidup yang layak, yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita pada paritas daya beli dalam mata uang Dollar AS

Rendahnya SDM Indonesia tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh faktor ekonomi.

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakkan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun (artikel bebas/Isjoni, 2004).

Pendidikan non formal, dulunya dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS) menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat. Ke depan, penyelenggaraan PNF harus lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksana serta pengendali. Dalam penyelenggaraan PNF ini, pemerintah termasuk pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sebaiknya lebih berperan sebagai regulator dan fasilitator dengan tetap memberikan dukungan sumberdana yang memadai. Mengingat sumberdaya masyarakat dalam pendanaan pendidikan masih sangat terbatas. Dengan demikian, PNF bisa menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan rendahnya SDM karena faktor kemiskinan dan kecilnya akses untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Salah satu indikasi keberhasilan PNF adalah melalui penuntasan buta aksara. Secara nasional penuntasan buta aksara saat ini gencar dilaksanakan, karena target nasional diharapkan akan tercapai pada 2009. Sebagai gambaran, Jawa Timur merupakan kantong buta aksara terbesar di Indonesia. Untuk usia 7-15 tahun berjumlah 4,5 juta dan usia 16-44 tahun sekitar 740 ribu orang, sehingga jumlah itu sama dengan 29% dari keseluruhan penduduk buta aksara di Indonesia.


Masih Termarjinalkan

Mengingat pentingnya PNF untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya angka IPM, semestinya pemerintah dan masyarakat menempatkan peran PNF setara dengan pendidikan formal. Namun masyarakat luas belum sepenuhnya menyadari bahwa PNF memiliki fungsi dan peran yang setara dengan pendidikan formal. Dengan kata lain, peran PNF sampai saat ini masih termarjinalkan.

Meskipun sudah sangat jelas tertera dalam UU Sisdiknas, namun peluang PNF untuk bisa disetarakan dengan pendidikan formal nampaknya masih menjadi angan-angan belaka. Hal ini terbukti dengan tidak diaturnya kedudukan pamong belajar dalam UU Guru dan Dosen yang baru disahkan. Padahal pamong belajar merupakan garda terdepan bagi berlangsungnya proses dan kegiatan PNF di lapangan. Tugas pamong belajar jauh lebih kompleks bila dibandingkan dengan guru atau dosen sekalipun. Tanggung jawab untuk membebaskan warga belajar dari keterbelakangan akibat tidak adanya akses untuk memperoleh pendidikan formal merupakan beban berat yang harus dipikul oleh pamong belajar. Belum lagi adanya tanggung jawab untuk mengarahkan warga belajar agar bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja dan berusaha mandiri.

Namun kenyataannya, peran pamong belajar ini tidak diapresiasi sama sekali dalam UU Guru dan Dosen. Apakah ini merupakan langkah sistematis untuk memarjinalkan keberadaan pamong belajar, atau apakah hal ini merupakan kelalaian yang tidak disengaja, tentunya para penyusun UU tersebut yang lebih mengetahuinya.

Bukti lain dari semakin termarjinalnya peran PNF adalah rendahnya alokasi anggaran untuk program dan kegiatan PNF, terutama anggaran yang berasal dari Pemerintah Daerah. Dari anggaran pendidikan yang cuma 6,8% saja, anggaran untuk PNF hanya 0,3%. Berbeda dengan negara-negara seperti Korea, Thailand, ataupun Malaysia yang sudah menjadikan struktur kelembagaan maupun pendanaan PNF seimbang dengan dana yang diberikan kepada pendidikan formal (PF). Padahal, PNF dapat mendukung pendidikan formal dalam program keaksaraan fungsional, penanganan buta huruf, dan memandirikan masyarakat yang putus sekolah (Pikiran Rakyat, 2-1-2006).

Selain masalah minimnya anggaran, menurut Dr. Fasli Jalal, mantan Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Departemen Pendidikan Nasional, salah satu kendala pengembangan PNF di berbagai daerah adalah adanya paradigma masyarakat yang masih berorientasi pada pendidikan formal semata. Padahal, antara pendidikan formal dan PNF saling berkesinambungan dalam membentuk sumber daya manusia yang cerdas dan terampil. Melalui berbagai jalur PNF seperti tempat kursus, pesantren, atau lembaga pendidikan luar sekolah lainnya, berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan dapat diserap.

Banyak masyarakat yang memaksakan anaknya untuk menempuh pendidikan hanya melalui sekolah formal dengan tujuan mendapatkan ijazah kelulusan dan dapat diterima bekerja di suatu perusahaan. Namun, realitasnya banyak anak yang gagal dalam pendidikannya di sekolah atau berhasil lulus sekolah, tapi tidak diterima bekerja pada suatu perusahaan (Kompas 19 Juni 2003)


sumber: http://www.balitbangjatim.com/bul_d2.asp?id_subBab=40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar