Jumat, 17 April 2009

Menyoal Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar

KEBIJAKAN desentralisasi pendidikan dalam kerangka otonomi daerah menuntut tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota dalam mengatasi permasalahan pendidikan. Hambatan di bidang pendidikan dari dulu hingga era otonomi belum bergeser.
Persoalan pendidikan di daerah masih sekitar sarana dan prasarana yang tidak lengkap, jumlah dan mutu tenaga pengajar yang kurang dengan ketersebaran yang tidak merata. Akibatnya, kegiatan belajar-mengajar yang mengarah pada upaya perbaikan hasil belajar sulit terwujud. Banyak pihak menilai pelayanan pendidikan di era otonomi daerah tidak menunjukkan perubahan berarti, bahkan cenderung memburuk. Permasalahan ini antara lain disebabkan pengelolaan APBD yang belum sepenuhnya mendukung pelaksanaan desentralisasi pendidikan, sehingga menjadi kendala pencapaian berbagai sasaran program yang telah ditetapkan, khususnya dalam meningkatkan pelayanan pendidikan dasar.
Salah satu kebijakan penting dalam meningkatan pelayanan pendidikan di Jawa Barat adalah penuntasan wajar dikdas 9 tahun pada tahun 2008. Dengan berangkat pada angka partisipasi murni (APM) SD/MI dan SMP/MTS tahun 2004 96,12% dan 60,27% dan tahun 2005 APM SD/MI 97,05% dan APM SMT/MTs 73,3%, pada tahun 2008 diharapkan APM SD/MI 97,9% dan APM SMP/MTs 86,2%. Penuntasan wajar dikdas 9 tahun sampai dengan 2004-2005 terlihat dari percapaian pergerakan angka partisipasi yang lambat, terutama di jenjang SMP/MTs, realitas pencapaian APM SMP/MTs baru mencapai 60,27%. Padahal jika mengikuti standar Depdiknas, kategori tuntas pertama jika APM berkisar antara 80%-85%, tuntas madya APM 86%-90%, dan tuntas paripurna antara 96%-100% (Dinas Pendidikan Jabar, 2005).
Data yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber menunjukkan bahwa pada tahun 2005, jumlah anak usia sekolah yang tidak menikmati bangku sekolah sebagai akibat kemiskinan sebanyak 265.000 (20,72%) dari seluruh anak usia 7-15 tahun. Anak yang putus sekolah sebanyak 1.278.946 orang (34,8%) dari seluruh anak usia 7-15 tahun yang berjumlah 6.745.272 orang. Jumlah buta huruf di Jawa Barat mencapai 216.758 orang (77,2%). Anak usia 7-15 tahun yang sudah memiliki kesempatan menikmati bangku sekolah pun tidak terjamin bisa mendapatkan kualitas pelayanan yang memadai karena lebih dari 50% sekolah dasar dan menengah negeri di Jawa Barat masih berkutat pada permasalahan kekurangan guru dan keterbatasan sarana dan prasarana penunjang kegiatan belajar mengajar.
Jawa Barat pada tahun 2005, masih kekurangan guru 81.000 orang di antaranya 48.000 guru sekolah dasar (SD) atau 59%, 24.000 guru SLTP atau 30%. Bangunan sekolah yang rusak di Jawa Barat 47.000 buah, di antaranya 43.000 bangunan sekolah dasar (SD) dan 3.000 bangunan SLTP (Pikiran Rakyat, 2005). Masih belum optimalnya pelayanan pendidikan dasar di Jawa Barat tersebut di antaranya tidak terlepas dari besaran alokasi anggaran pendidikan, baik dari APBD provinsi, dan APBD kabupaten/kota.
Realitasnya pemerintah daerah tidak konsisten dengan ketentuan pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBD. Contohnya, APBD Provinsi Jawa Barat pada tahun yang 2005 sebesar Rp 4.131.439.788.522,15, adapun anggaran Dinas Pendidikan Jawa Barat sebesar Rp 359.598.068.689,20 berkisar 8,7%. Pada tahun 2006 anggaran sektor pendidikan baru mencapai 7,8% dari total APBD. Demikian pula APBD kabupaten/kota masih jauh dari harapan.
Beragam persoalan krusial dalam pembangunan pendidikan di Jawa Barat salah satunya bermuara pada lemahnya implementasi kebijakan anggaran dalam bentuk peraturan daerah tentang APBD, sebagai produk bersama antara eksekutif dan legislatif. Perhatian lembaga-lembaga tersebut belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan pelayanan pendidikan masyarakat. Faktanya meskipun UU mengamanatkan bahwa anggaran pendidikan harus menyentuh angka 20%, namun dalam implementasinya masih jauh dari harapan.
Berdasarkan penelitian penulis (2006), kebijakan anggaran yang digulirkan pemerintah daerah dalam upaya menuntaskan wajar dikdas 9 tahun belum optimal dan memberikan kepuasan pada masyarakat selaku stakeholders penerima layanan. Mencermati besaran alokasi anggaran pendidikan baik pada APBD Provinsi Jawa Barat maupun APBD kabupaten/kota hingga tahun 2005 dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, alokasi anggaran pendidikan masih belum memenuhi amanat konstitusi UUD 1945 dan UU Sisdiknas 20/2003 minimal 20% dari volume APBN/APBD. Kedua, dilihat dari proporsi anggaran, belum memadainya anggaran sektor pendidikan menjadi salah satu kendala akselerasi pencapaian wajar 9 tahun. Ketiga, dilihat dari struktur anggaran, dalam implementasinya, khususnya anggaran program pendidikan dasar masih terdapat anggaran pegawai yang memengaruhi besaran anggaran program sehingga mengurangi pembiayaan langsung (direct cost) pada satuan pendidikan (sekolah). Oleh karena itu, alokasi anggaran untuk program pendidikan menjadi berkurang. Keempat, dalam konteks pelayanan, dilihat dari struktur, format anggaran, program dan alokasi anggaran, dapat dikatakan bahwa kebijakan anggaran pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Barat belum mencerminkan keberpihakan pemerintah daerah terhadap kepentingan publik, dalam hal ini pelayanan pendidikan.
Belum optimalnya kebijakan anggaran dalam meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan dasar disebabkan enam faktor yang menentukan implementasi kebijakan publik. Masing-masing faktor tersebut memiliki kelemahan (belum terimplementasi semestinya), padahal dari hasil penelitian faktor tersebut menunjukkan pengaruh yang signifikan yakni, kondisi sosial-ekonomi dan politik (17,4%), standar dan tujuan (15,4%), sumber daya (12,6%), sikap pelaksana (11,3%), struktur birokrasi (10,9%), dan komunikasi antar-organisasi (6,6%).
Berpijak pada hasil penelitian, faktor penting dalam upaya memajukan pendidikan di Jawa Barat terletak pada faktor kondisi sosial, ekonomi dan politik. Situasi sosial yang kondusif akan memberikan peluang kepada pemerintah untuk memperhatikan sektor pendidikan lebih optimal. Sebaliknya, jika kondisi sosial bergejolak akan memalingkan perhatian pemerintah dari sektor pendidikan dan hanya memfokuskan kepada perbaikan kondisi sosial.
Sejatinya, muara dari kondisi sosial dan ekonomi adalah faktor politik. Kondisi sosial dan ekonomi pada dasarnya lebih banyak ditentukan oleh faktor politik. Apabila kecenderungan para elite politik menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama, maka masalah-masalah yang melilit sektor pendidikan seperti alokasi anggaran yang memadai tidak akan menjadi masalah. Kuncinya adalah komitmen dan kemauan politik dari para elite penentu kebijakan.
Terkait dengan faktor standar dan tujuan pada implementasi kebijakan anggaran, berbagai program penuntasan wajar dikdas 9 tahun dibuat seideal mungkin oleh semua pemerintah daerah. Namun, ketika kebijakan diimplementasikan terjadi ketidaksesuaian. Dalam arti, pencapaian sasaran program tidak didukung dengan alokasi anggaran yang mencukupi, sehingga menjadi tidak efektif. Padahal setiap program/kegiatan berikut alokasi anggarannya harus dibuat berdasarkan tupoksi, tingkat prioritas program, tujuan, sasaran, yang disertai dengan indikator penilaian kinerja yang jelas dan terukur. Dengan sistem itu, seharusnya setiap biaya satuan jenis pelayanan dapat diukur, sehingga tercapai tingkat efektivitas dan efisiensi dari setiap jenis program pelayanan.
Penelitian menemukan pula bahwa pemerintah kabupaten/kota di Jawa Barat belum memiliki standar analisis belanja (SAB). Hal ini pula yang menyebabkan setiap unit kerja memiliki perbedaan perkiraan biaya pendidikan dasar yang harus dikeluarkan. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi kecurigaan-kecurigaan di antara stakeholders pendidikan dasar. Dalam penyusunan anggaran sektor pendidikan diperlukan standar pelayanan minimal (SPM). SAB dan standar biaya pendidikan yang memperhitungkan unit cost setiap jenjang pendidikan.
Ketidakcukupan anggaran dalam membiayai program sangat kentara pada faktor sumber daya. Semua sumber daya (guru, gedung sekolah, peralatan, dan fasilitas penunjang lainnya) yang diperlukan dalam implementasi kebijakan pendidikan dasar, khususnya program penuntasan wajar dikdas 9 tahun dan peningkatan kualitas pendidikan dasar banyak yang belum terpenuhi karena keterbatasan anggaran. Hal itu terbukti, misalnya, pada pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dasar, kuantitas dan kualitas guru baik di tingkat SD maupun SLTP, terutama di daerah pedalaman masih banyak SD dan SMP/MTs yang kondisi bangunannya sangat memprihatinkan, bahkan tidak sedikit yang sudah ambruk.
Penutup
Minimnya anggaran pendidikan, baik yang bersumber dari APBD provinsi maupun kabupaten/kota terutama terkait dengan sikap elite politik dalam menentukan kebijakan anggaran. Masih banyak para penentu kebijakan pemerintah, baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki anggapan bahwa pendidikan tidak begitu penting sebab hasilnya sulit diukur dan membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan sesuatu dan tidak berpengaruh langsung pada produksi seperti sektor-sektor lain.
Realitas tersebut sesuai dengan kesimpulan penelitian penulis bahwa dari enam faktor implementasi kebijakan anggaran yang paling besar pengaruhnya terhadap kualitas pelayanan pendidikan dasar di Jawa Barat adalah faktor kondisi sosial, ekonomi dan politik, yang memang dalam kenyataan mempunyai hubungan satu sama lain.
Kondisi sosial dan ekonomi menunjukkan kemampuan masyarakat dalam mengikuti atau memperoleh pendidikan. Sedangkan kondisi politik menyangkut persepsi dan sikap para penentu kebijakan yang memberikan makna bahwa keberhasilan implementasi kebijakan anggaran untuk memenuhi amanah UUD 1945 dan UU Sisdiknas menuntut komitmen dan political will eksekutif dan legislatif daerah.***
Penulis, anggota FPG DPR RI dari Jawa Barat, merai

Sumber: http://groups.google.co.id/group/lowongan-kerja-cpns/browse_thread/thread/2869feaf0a7944f9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar