Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan Khusus Anak Korban Lumpur

SEMBURAN lumpur panas PT Lapindo Brantas (Lapindo) yang tiada henti telah melumpuhkan hampir seluruh sendi kehidupan di Sidoarjo, Jawa Timur dan sekitarnya. Imbasnya pun merembet ke segenap sektor riil dan pranata sosial yang ada di dalamnya. Pemerintah dituntut bertindak cepat dalam mengantisipasi dampak luas bencana itu.

Bidang pendidikan, salah satu sektor penting yang perlu diperhatikan. Anak-anak korban lumpur panas, yang tidak bisa lagi bersekolah dan saat ini tinggal di tempat-tempat penampungan, perlu dimotivasi kembali agar tetap mempunyai gairah belajar. Tanpa melupakan prioritas tindakan lain, seperti penanganan bencana lumpur, kebutuhan relokasi, atau ganti rugi tanah warga, anak-anak ini tetap tidak boleh terlalu lama meninggalkan bangku sekolah dan terus-menerus dibayangi ketakutan dan kesengsaraan hidup seperti yang mereka alami saat ini.

Melalui pendidikan layanan khusus, mereka dapat diberi pengertian multidimensi tentang apa yang sekarang mereka rasakan. Harapannya, mereka lebih tegar dan lebih siap lahir batin menatap kehidupan. Sebab, tekanan mental dan psikis biasanya cukup sulit dipulihkan pada diri anak-anak korban bencana, termasuk anak-anak korban lumpur panas yang saat ini sebagian besar tinggal di lorong-lorong kumuh pasar Porong dan Jalan Tol.

Luapan lumpur panas Lapindo memang bukan tergolong bencana akibat peristiwa alam mahadahsyat seperti gempa bumi atau tsunami yang terjadi belakangan ini. Hal itu terjadi karena kecerobohan manusia. Meski begitu, tetap saja ratusan bahkan ribuan anak menderita atas akibat yang ditimbulkannya.

Karena itu, kebijaksanaan dan perlakuan khusus model pendidikan di daerah bencana seyogianya juga diterapkan dan dijalankan di Sidoarjo. Sebab, hal ini telah secara tegas dikatakan oleh undang-undang mengenai pilihan model pemulihan pendidikan dengan layanan khusus yang mengacu pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 ayat 2 berbunyi: "Pendidikan layanan khusus diberikan kepada anak didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi."

Anak korban lumpur panas bisa dikategorikan sebagai anak didik yang terkena bencana sosial dan tidak mampu dari segi ekonomi. Bencana sosial karena mereka ikut merasakan penderitaan dan ketidakjelasan atas keberlanjutan pendidikannya akibat efek luas yang ditimbulkan secara sosial. Mereka juga tidak mampu dari segi ekonomi karena sebagian besar orang tuanya telah kehilangan mata pencaharian akibat terendamnya sawah dan ladang oleh lumpur panas, serta diperkirakan tidak akan bisa dimanfaatkan kembali akibat ketidakpastian kapan berhentinya luapan lumpur.

Pendidikan layanan khusus ini tentunya juga harus mempertimbangkan persiapan mental para anak didik. Selain itu, konsepnya mesti lebih ditekankan pada pemulihan tekanan mental, traumatik, dan kesehatan kejiwaan mereka.

Apa yang terjadi di wilayah mereka merupakan pelajaran terpenting yang akan selalu dikenang. Secara psikologis, mereka tentunya lebih 'tahan banting' karena sudah mengalami penderitaan, kesulitan, dan tantangan hidup yang sesungguhnya. Falsafah yang pernah dilontarkan Rupert C Lodge dalam bukunya Philosophy of Education menjadi gambaran dari kondisi anak-anak korban lumpur sekarang; in this sense, life is education and education is life. Pelajaran terpenting yang telah termaterialisasikan dalam tiap-tiap pribadi anak-anak korban lumpur adalah pergulatan hidup yang sesungguhnya.

Beban mental dan psikologis anak-anak korban lumpur panas sudah barang tentu berbeda dengan generasi-generasi lain yang selalu dininabobokan kemapanan hidup. Anak-anak di pengungsian, setidak-tidaknya akan mampu mencapai taraf kemapanan berpikir rasional dengan berbagai macam musibah dan dinamika kehidupan di sekitar mereka. Sehingga, bisa jadi pelajaran kehidupan terpenting sebenarnya telah diserap dari bencana yang diderita.

Kita semua berharap agar pendidikan anak-anak korban lumpur panas menjadi salah satu perhatian utama pemerintah. Penanganan pendidikan semacam ini dimulai dengan penanganan psikologis. Spirit belajar dan rasa optimisme menghadapi hidup, gairah bermain, berbaur dengan teman-teman sebaya, dan keceriaan mereka harus dipulihkan. Langkah ini diperlukan demi mengembalikan semangat belajar pada usia anak didik.

Di samping itu, secara fisik rehabilitasi dan rekonstruksi secara sistematis, seperti penyediaan tenaga guru di tempat-tempat relokasi, sarana-sarana pendidikan, menempatkan mereka pada gedung sekolah yang jauh dari lokasi bencana, menata kembali program belajar yang tertunda dll juga harus dipertimbangkan.

Meski terkesan ala kadarnya, aspek dan fungsi-fungsi pokok pendidikan tetap tidak boleh diabaikan. Sebagaimana pernah disinggung John Dewey, pendidikan harus didudukletakkan sebagai kebutuhan hidup (necessity of life), fungsi sosial (social function), bimbingan (direction), sarana pertumbuhan (growth), serta mempersiapkan, mengembangkan, dan membentuk kedisiplinan (preparation, unfolding and formal discipline). Karena itu, pemulihan semangat dan pendekatan psikologis melalui infrastruktur dan pola pendidikan yang memadai setidaknya akan dapat memengaruhi perbaikan-perbaikan struktur sosial dan kejiwaan anak-anak korban lumpur Lapindo demi menatap cerahnya hari esok.

Sekali lagi, realisasi pendidikan layanan khusus harus benar-benar mampu merekonstruksi pendidikan bagi anak-anak korban lumpur panas Lapindo serta daerah-daerah pascabencana yang lain. Itu hanya bisa dicapai kalau pemerintah memang memiliki political will dan iktikad baik dalam memosisikan mereka sebagai generasi yang juga sepatutnya memperoleh kelayakan fasilitas, akses, dan atensi pendidikan seperti anak-anak lain.

sumber: http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/fokus/artikel.php?aid=12257

Tidak ada komentar:

Posting Komentar