Sabtu, 16 Mei 2009

Pubertas Pada Anak Kebutuhan Khusus

Pubertas Pada Remaja Dengan Kebutuhan KhususDipublikasi pada selasa 10 Februari 2009 oleh SMP PATMOS TEAM Adalah hal yang umum bahwa saat anak anak memasuki masa remaja, timbul kecemasan kecemasan pada orang tua; terlebih pada orang tua dari anak anak dengan kebutuhan khusus (anak anak autistik, down syndrome, gangguan mental, dsb). Mereka memiliki lebih banyak kekhawatiran mengingat anak dengan kebutuhan khusus memiliki hambatan dalam berkomunikasi, berperilaku juga dalam memahami tatanan sosial. Para orang tua anak anak tersebut dibayangi kecemasan bahkan ketakutan akan terjadinya pelecehan seksual, perilaku anak yang tidak pantas dan memalukan di tempat tempat umum seperti menggaruk garuk alat kelaminnya, menanggalkan pakaiannya, bahkan remaja dengan kebutuhan khusus ini dapat saja melakukan masturbasi dimanapun saat libidonya timbul. Perilaku seperti itu pada akhirnya bukan saja memalukan tetapi mendatangkan permasalahan baru, dimana orang tua harus berhadapan dengan masyarakat yang tidak dapat memahami keadaan yang sebenarnya. Yang lebih menghawatirkan adalah sekolah sekolah tempat mereka mengikuti proses belajar mengajar, termasuk sekolah sekolah umum yang menyatakan diri menerima murid dengan kebutuhan khusus, menolak keberadaan anak anak tersebut di sekolah jika dalam batas waktu yang diberikan, perilaku seksual anak tidak berubah. Sungguh keadaan yang sangat ironis. Tampaknya isu pubertas ini, khususnya pada anak anak dengan kebutuhan khusus, masih ditanggapi secara dangkal dan belum disikapi secara bijak. Secara umum, tidak dapat dipungkiri bahwasanya masalah seputar sex masih tetap menjadi hal yang tabu dan tertutup di dalam tatanan masyarakat kita dan kecenderungannya adalah bahwa hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua untuk mengajarkannya. Dalam menanggapi kecemasan para orang tua, beberapa waktu yang lalu SARANA telah mengadakan acara diskusi yang mengangkat tema “Pubertas pada remaja dengan kebutuhan khusus”. Aspek Fisiologis
Dr Irmia Kusumadewi SpKJ(K) menyampaikan bahwa anak anak dengan kebutuhan khusus yang beranjak dewasa, sama halnya dengan anak anak seusianya, akan mengalami masa pubertas. Awal masa pubertas setiap individu berbeda beda, namun secara umum hal ini akan terjadi pada usia 9 – 14 tahun pada anak perempuan dan 10 – 17 tahun pada anak laki laki. Proses ini akan berlangsung selama 1 sampai 6 tahun.
Pada masa pubertas seseorang berubah dari fisik anak anak menjadi fisik dewasa sejalan dengan terjadinya perubahan hormonal di dalam tubuhnya. Perubahan fisik ini ditandai dengan antara lain tumbuhnya bulu di ketiak, pembesaran buah dada pada anak perempuan, testis yang membesar pada anak laki laki, dst. Sementara itu, yang dimaksud dengan terjadinya perubahan hormonal pada anak perempuan adalah keadaan dimana ovarium sudah mulai memproduksi hormon estrogen dan progesteron sehingga dapat terjadi ovulasi jika dibuahi dan menstruasi jika tidak dibuahi. Sedangkan pada anak laki laki, adanya perubahan hormonal menyebabkan testis mulai memproduksi hormon testosteron dan diproduksinya sperma. Disamping itu, perubahan fisik tersebut akan mempengaruhi pula keadaan psikis, kognitif dan sosial anak. Ketidak nyamanan pada tubuh yang mereka rasakan, ketidak pahaman mereka dalam menghadapi perubahan tersebut akan menimbulkan perilaku perilaku baru seperti menjadi mudah marah, melawan, bingung, berperilaku yang beresiko, eksperimen terhadap zat, problem sekolah, keluhan psikosomatis, aktivitas seksual, dsb. Menurut dr. Mia, pada keadaan yang sulit untuk dikendalikan, dapat saja terjadi seorang anak dalam masa pubertas memerlukan bantuan terapi psikofarmaka seperti obat obatan anti kejang, anti depresan, anti psikotik dengan pengawasan ahli medis. Aspek PsikologisDengan adanya beragam keterbatasan yang telah disebutkan sebelumnya, permasalahannya sekarang adalah bagaimana memberi pemahaman pada anak anak dan remaja dengan kebutuhan khusus tentang masalah pubertas; serta bagaimana orang tua, terapis, guru, pengasuh menyikapi masa ini secara bijaksana. Dari sudut pandang psikologis, Dra. Endang Retno Wardhani menyarankan agar orang tua sudah mengantisipasi akan datangnya masa pubertas jauh hari sebelumnya sehingga anak anak tersebut dapat dipersiapkan menghadapinya melalui beragam pengenalan, penjelasan dan pemahaman yang diperlukan. Pendampingan orang tua dalam hal ini berkaitan dengan pengolahan kematangan pemahaman anak terhadap aspek konsep diri, pemahaman perubahan fisik, pengenalan peran dalam interaksi sosial serta pengenalan bina diri (self care). Mengingat pembelajaran yang bersifat visual akan jauh lebih mudah dipahami anak, seorang ayah dapat saja mengajari anak laki lakinya tentang perubahan fisik saat mandi bersama, sementara seorang ibu dapat mengajari anak perempuannya seputar menstruasi. Role model dari masing masing gender adalah perlu dalam hal ini. Seberapa cepat anak dapat mengerti hal tersebut sangat bergantung pada tingkat kemampuan pemahaman anak. Disamping itu, anakpun perlu disibukkan dengan beragam kegiatan untuk mengisi hari harinya. Selain untuk membantu mengaktualisasikan diri, memperbanyak kegiatan yang melibatkan fisik dapat membantu mereka meredam gejolak emosi dan dorongan seksualnya. Aspek PedagogisHal lain yang juga perlu diperhatikan dalam proses pengajaran adalah penggunaan terminologi baku pada saat memperkenalkan bagian vital tubuh manusia. Adalah penting untuk memberi penamaan yang sebenarnya untuk alat kelamin laki laki (penis) misalkan dan bukan disamarkan menjadi “burung”. Tujuannya adalah untuk mencegah salah pengertian ataupun kesalah pahaman di kemudian hari. Pernyataan tersebut mengemuka saat para pembicara dari Sekolah Cita Buana Jakarta menyampaikan pengalaman mereka selaku pengajar di unit khusus bagi murid murid dengan kebutuhan khusus di sekolah tersebut. Ibu Ninong dan Ibu Aimee memaparkan tahap tahap yang mereka lakukan dalam mempersiapkan murid muridnya memasuki masa pubertas. Ada 3 aspek yang perlu diiajarkan kepada mereka; yang pertama pentingnya pemahaman konsep diri (self) sejak dini termasuk pemahaman akan konsep keluarga (family) dengan membuat pohon keluarga (family tree) sebagai alat bantu visual. Yang kedua, anak anak juga perlu diperkenalkan adanya tempat tempat yang bersifat umum/publik (contoh: mall, ruang tamu, dapur, kendaraan umum, ruang kelas, dsb); tempat tempat yang bersifat pribadi/privat (kamar tidur, kamar mandi, WC, WC umum yang kesemuanya itu bersifat privat jika dalam keadaan PINTU TERTUTUP) berikut perilaku apa saja yang pantas dan tidak pantas dilakukan disana. Hal yang ketiga adalah mengajarkan protective behaviour melalui konsep lingkaran (circle concept) yang menjadi salah satu strategi agar anak dapat melindungi dirinya, membela dirinya. Melalui konsep ini diajarkan pula pentingnya menjaga ruang pribadi (personal space) mereka dan juga ruang pribadi orang lain. Mereka harus belajar mengatur jarak jika berada dekat dengan orang lain serta menolak keberadaan orang lain yang memasuki ruang pribadi mereka. Personal space ini berupa lingkaran maya yang radiusnya berukuran minimum sepanjang lengan anak. Selanjutnya, pada materi yang sama, anak anak diajarkan untuk memahami keberadaan mereka di dalam komunitas, termasuk mengenali siapa siapa saja yang berada dalam kelompok orang orang terdekat yang boleh dicium, dipeluk; siapa siapa saja yang cukup disapa dengan berjabatan tangan, serta siapa siapa saja yang tidak perlu disapa, terlebih dipeluk atau dicium. Yang terakhir ini adalah mereka yang berada di lingkaran terluar yaitu orang orang yang tidak mereka kenal (stranger). Melalui pengajaran yang bersifat visual, bermain peran, diskusi kelompok; anak anak diharapkan akan lebih mudah dan cepat memahami konsep yang pada intinya bersifat abstrak ini. Suasana yang akrab juga harus diciptakan agar anak anak merasa nyaman untuk berbagi kepada guru dan teman temannya bahkan menceritakan apa yang terjadi terhadap dirinya. Generalisasi dari pembelajaran ini dilakukan saat murid murid mengunjungi fasilitas umum/ publik dibawah pengawasan team guru. Aspek Orang tuaSementara itu, Adriana Ginanjar - orang tua dari remaja berkebutuhan khusus - pada kesempatan yang sama memaparkan pengalamannya dalam menghadapi anak laki lakinya yang memasuki masa pubertas. Persiapan yang ia lakukan sejak 3 tahun yang lalu, adalah menjadwalkan kegiatan dimana lebih banyak role model laki laki yang hadir dalam kegiatan anaknya seperti berekreasi dengan ayah, paman disamping memperbanyak aktivitas fisik seperti berenang. Iapun berupaya agar anak memiliki cukup ruang gerak pribadi seperti menyediakan kamar tidur sendiri, memberikan pilihan pilihan dan tidak memaksakan jika anak menolak melakukan hal yang tidak ia inginkan. Disimpulkannya bahwa tugas terberat dan tersulit yang ia hadapi sebagai seorang ibu yang juga psikolog adalah dalam menjelaskan masalah seks dan cara mengekspresikan dorongan seksual kepada anaknya. Sebagai orang tua, iapun perlu terus menambah wawasan mengenai remaja dengan kebutuhan khusus melalui buku buku, seminar, dsb. Menurutnya, perjalanan yang harus ia tempuh masih sangat panjang dalam mendidik dan menanamkan pengertian kepada anaknya seputar masalah pubertas ini. Pada akhirnya, para pembicara sepakat bahwa dalam menyikapi masa pubertas pada remaja dengan kebutuhan khusus diperlukan kesabaran yang tinggi, pengajaran yang berulang ulang disertai alat bantu visual serta waktu yang lama. Untuk tercapainya tingkat kesuksesan dalam pembelajaran, kerjasama team yang terdiri atas orang tua, guru dan profesi lain yang terkait seperti psikolog, dokter perlu dijalin dengan erat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar