Jumat, 17 April 2009

REFORMASI PENDIDIKAN DASAR DI INDONESIA

Dalam bidang pendidikan dasar, pemerintah SBY menghadapi persoalan yang sama dengan pemerintah sebelumnya. Persoalan itu berkutat seputar kewajiban untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi warga negaranya sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang. Sementara di sisi lain persoalan pendidikan masih bertumpuk ditengah kemampuan ekonomi negara yang tak juga membaik.
PENDAHULUAN
Dalam bidang pendidikan dasar, pemerintah SBY menghadapi persoalan yang sama dengan pemerintah sebelumnya. Persoalan itu berkutat seputar kewajiban untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi warga negaranya sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang. Sementara di sisi lain persoalan pendidikan masih bertumpuk ditengah kemampuan ekonomi negara yang tak juga membaik.
Kewajiban negara memberikan pendidikan berkualitas.
Pembukaan UUD ’45 menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pasal-pasal dalam batang tubuh UUD ’45 juga memperjelas kewajiban negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Pasal 28B (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal 31 UUD ’45 lebih tegas menyatakan tentang hak warga negara atas pendidikan dan kewajiban negara memberikan pendidikan kepada warganya. Pasal 31 menyatakan 1) setiap warga berhak mendapat pendidikan, 2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, 3) negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Ketentuan UUD di atas menunjukkan bahwa pendidikan berkualitas memang menjadi salah satu titik tekan kebijakan umum pemerintah Indonesia sedari awal. Pendiri negara pada saat itu menyadari betul pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa.
Ini juga berarti amanah kepada setiap pemerintah yang berkuasa di Indonesia untuk memberikan pendidikan bagi warga negaranya. Pada tahun 2003, pemerintahan presiden Megawati Sukarnoputri menterjemahkan amanah ini dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UU Sisdiknas menyebutkan keinginan besar pemerintah dalam bidang pendidikan yang mengamanatkan agar dana pendidikan---selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan----dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD. Dengan dana APBN sebesar itu pemerintah bercita-cita untuk menyelenggarakan pendidikan dasar gratis.
Pendidikan dasar wajib yang dipilih Indonesia adalah 9 tahun, yaitu pendidikan SD dan SMP. Apabila dilihat dari umur maka mereka yang wajib bersekolah adalah 7-15 tahun. Saat ini populasi kelompok umur 7-15 tahun adalah sekitar 39 juta orang (Fazli Jalal, 2005)
Dengan dasar hukum yang kuat seperti di atas maka mau tidak mau dalam setiap program pembangunan ----Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), Program Pembangunan Nasional (Propenas), maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)----- kebijakan bidang pendidikan selalu muncul sebagai bahasan utama.
Persoalan Pendidikan Dasar di Indonesia.
Mekipun dasar hukum untuk meningkatkan pendidikan berkualitas sangat kuat, namun setelah enam dekade merdeka persoalan pendidikan masih juga menjadi momok besar bagi setiap pemerintahan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menjelaskan sejumlah persoalan yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.
Persoalan pertama, pendidikan rata-rata penduduk Indonesia masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 61 persen penduduk Indonesia diatas 15 tahun hanya berpendidikan SD ke bawah. Dua puluh dua (22) persen diantaranya bahkan tidak pernah lusus SD atau tidak sekolah sama sekali (lihat tabel 1).
Tabel 1:
Penduduk diatas 15 tahun Menurut Pendidikan yang Ditamatkan
Pendidikan
Presentase
1
Tdk/ blm tamat SD
22%
2
SD
39%
3
SLTP
17%
4
SLTA
18%
5
Diploma
2%
6
Universitas
2%
TOTAL
100%
Diolah dari data Susenas, BPS 2003
Angka buta aksara penduduk juga masih tinggi. Menurut data Susenas, angka buta aksara usia 15 tahun keatas masih mencapai 10.12 persen (SUSNAS 2003).
Persoalan kedua, angka partisipasi sekolah (APS)—rasio penduduk yang bersekolah menurut kelompok usia sekolah---masih belum sebagaimana yang diharapkan. Susenas 2003 menunjukkan bahwa APS untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen. Angka tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat sekitar 19 persen anak usai 13-15 tahun yang tidak bersekolah baik karena belum/ tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Data Susenas 2003 mengungkapkan bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan (75,7 persen).
Masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antar kelompok masyarakat. Data Susenas 2003 menemukan bahwa APS penduduk berusia 13-15 tahun dari kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 93.98 persen, sementara untuk kelompok 20 persen termiskin baru mencapai 67.23 persen. Kesenjangan lebih lebar dijumpai pada usia 16-18 tahun dimana kelompok 20 persen terkaya mencapai 75.62 persen dan 20 persen termiskin hanya mencapai 28.52 persen.
Selain kesenjangan partisipasi sekolah antara penduduk kaya dan miskin terdapat juga kesenjangan antara penduduk perkotaan dan pedesaan. Rata-rata APS untuk penduduk berusia 13-15 tahun di perkotaan telah mencapai 89.3 persen sementara untuk penduduk pedesaan hanya 75.6 persen. Kesenjangan lebih nyata terlihat pda kelompok usia 16-18 tahun, APS untuk penduduk perkotaan sebesar 66.7 persen sementara penduduk perkotaan hanya mencapai 38.9 persen.
Data APS di atas menujukkan bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin lebar kesenjangan yang terjadi. Untuk anak usia 7-12 tahun, anak usia sekolah dasar, terdapat kesenjangan antara kelompok penduduk kaya-miskin dan kelompok penduduk pedesaan-perkotaan. Namun kesenjangan ini terlihat lebih lebar untuk anak usia SLTP (usia 13-15 tahun).
Persoalan ketiga, angka drop out (DO) masih tinggi. Pada tahun ajaran 2004/2005 angka DO untuk anak SD/MI mencapai 685.967. Selain itu anak yang lulus SD tetapi tidak mampu melanjutkan ke jenjang SMP juga tinggi, untuk tahun 2004/2005 jumlahnya mencapai 495.261. Tingginya angka DO dan angka lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP biasanya adalah karena faktor ekonomi orang orang tua, sementara itu biaya yang harus dikeluarkan untuk bersekolah tidaklah murah.
Persoalan keempat, fasilitas pelayanan pendidikan dasar belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah pedesaan, terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan anak-anak daerah tersebut sulit mengakses pendidikan dasar.
Selain itu masih banyak dijumpai gedung-gedung Sekolah dasar dan sekolah menengah dalam keadaan rusak dan tak layak huni. Hasil survei Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2004 menunjukkan bahwa 57.2 persen gedung SD/ MI dan sekitar 27.3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Akibatnya para murid terpaksa belajar di ruangan terbuka, atau menanggung bahaya belajar di dalam gedung yang hampir roboh.
Persoalan kelima, kualitas pendidikan yang rendah. Sebenarnya kualitas kepandaian siswa-siswa Indonesia tidaklah kalah dari negara-negara lain. Buktinya, berulang-ulang anak Indonesia menang di arena perlombaan ilmu pengetahuan di tingkat internasional seperti di Olimpiade Fisika, dan The First Step to Nobel Prize (lihat data di bawah).
Tabel 2:
Siswa Indonesia yang Memenangkan Medali Emas di The First Step to Nobel Prize
Tahun
Nama
Sekolah
1999
I Made Agus Wirawan
SMUN 1 Bangli, Bali
2004
Septinus George Saa
SMUN 3 Jayapura, Papua
2005
Anike Nelce Bowaire
SMAN 1 Serui, Papua
2005
Dhina Pramita Susanti
SMAN 3 Semarang, Jateng
Di olah dari Kompas, 17 Juni 2005
Meski siswa-siswa Indonesia terbilang sering memenangkan perlombaan internasional, namun secara kualitas ternyata siswa Indonesia masih tertinggal jauh. Hal ini misalnya terlihat dari survei Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Lembaga ini melakukan survei secara internasional dan menggunakan metode statistik ketat. Hasilnya lembaga ini menempatkan posisi Indonesia pada posisi di bawah rata-rata (Suara Pembaharuan, Rabu 4 Mei 2005). Pada tahun 1999 dan 2003 hasil TIMSS tidak menunjukkan peningkatan mutu yang signifikan. Bila nilai rata-rata untuk Matematika adalah 467, Indonesia hanya mampu mencapai angka 411. Begitu juga untuk nilai di bidang sains, nilai Indonesia hanyalah 420 jauh dibawah nilai rata-rata yang 474.
Mengapa timbul fenomena yang paradoksal seperti ini? Nampaknya persoalan bukan terletak pada kualitas manusianya namun lebih pada kualitas dan sistem pendidikan di Indonesia.
Melihat sederet persoalan di bidang pendidikan ini, publik saat ini menunggu kebijakan-kebijakan pemerintahan SBY-Kalla untuk segera menyelesaikannya. Apalagi dalam kampanye pemilihan presiden lalu, SBY-Kalla pernah menjanjikan terselenggaranya pendidikan gratis apabila ia terpilih.
KEBIJAKAN UMUM PEMERINTAHAN SBY
Kebijakan umum pemerintahan SBY-Kalla ini dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RPJMmenyebutkan target ”meningkatnya akses masyarakat terhadap pendidikan dan meningkatnya mutu pendidikan” sebagai sasaran pembangunan pendidikan sampai dengan tahun 2009. Target pemerintah dalam RPJM ini selain ingin menyelesaikan persoalan kuantitas---- meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan---, namun juga kualitas pendidikan di Indonesia. Target ini nampaknya memang ideal untuk mengatasi persoalan pendidikan yang selama ini dihadapi dan segaris dengan amanah undang-undang yang mewajibkan negara untuk memberikan pendidikan berkualitas kepada warga negaranya.
Meski tercantum secara ideal dalam RPJM namun kenyataannya pemerintah masih belum memiliki kemauan politik kuat membuat pendidikan sebagai prioritas utama dalam kebijakannya. Salah satu indikasinya adalah alokasi anggaran pemerintah bidang pendidikan yang sangat tidak mencukupi. Pemerintah SBY-Kalla dalam APBN 2005 mengalokasikan sejumlah Rp 25,710 triliun untuk anggaran bidang pendidikan. Jumlah ini hanyalah 9.7 persen saja dari total anggaran APBN. Dari jumlah tersebut Dirjend Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) mendapatkan jatah sebesar Rp 11,357 triliun[2].
Pemerintah beralasan bahwa kemampuan APBN negara tidak memungkinkannya untuk memenuhi kewajiban yang diembankan UUD ’45 harus mengalokasikan paling kurang 20 persen APBN untuk bidang pendidikan. Dengan alokasi anggaran yang demikian rendah, pemerintah SBY-Kalla sulit untuk mengimplementasikan cita-cita pendidikan gratis dan bermutu sebagaimana yang diamanahkan dalam undang-undang dan sebagaimana yang dijanjikan dalam kampanye.
Menyikapi alokasi anggaran pendidikan ini masyarakat berreaksi keras[3]. Salah satu kritiknya adalah bahwa alokasi anggaran pendidikan yang rendah, tidak sesuai dengan amanah konstitusi Indonesia. Sebabnya UUD ’45 pasal 31 jelas-jelas memerintahkan agar negara mengalokasikan paling tidak 20 persen anggaran APBN untuk kepentingan bidang pendidikan. Alasan ini membuat pengamat pendidikan terus meragukan komitmen pemerintah SBY-Kalla dalam pembangunan pendidikan.
Bahkan di tingkat internasional, anggaran yang rendah ini telah membuat Indonesia dimasukkan oleh Organisasi Guru Internasional ke dalam daftar salah satu negara dari tujuh negara—selain Mesir, Brasil, Argentina, India, Bangladesh, Pakistan---yang tidak memperdulikan bidang pendidikan (Smeru 2004 :18). Lembaga pendidikan PBB sendiri, UNESCO, telah memberi ketentuan agar setiap negara paling tidak mengalokasikan 25 persen dari anggaran negaranya untuk bidang pendidikan.
Dengan kondisi anggaran yang demikian, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand saja anggaran pendidikan Indonesia masih kalah jauh. Anggaran pendidikan Indonesia rata-rata hanya sepertiga dari anggaran pendidikan negara-negara tersebut. Bahkan anggaran pendidikan Zimbabwe misalnya mencapai 8 kali lebih besar dibandingkan anggaran pendidikan di Indonesia. Kondisi pendidikan Indonesia sangat parah sebab Indonesia ternyata merupakan Negara yang menyediakan anggaran pendidikan terkecil ke dua setelah Myanmar (Smeru 2004: 18).
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DASAR:
Ditengah keterbatasan dana dan keraguan masyarakat tersebut pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menanggulangi persoalan-persoalan pendidikan yang telah diuraikan di atas. Sepanjang rentang 6 bulan pemerintahannya, SBY-Kalla telah mengambil sejumlah kebijakan berkaitan dengan pendidikan. Secara garis besar kebijakan yang diambil oleh pemerintahan SBY-Kalla dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu 1) kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan 2) kebijakan untuk memperbesar akses masyarakat terhadap pendidikan. Kebijakan pemerintah ini satu persatu diuraikan di bawah ini.
Kebijakan Pemerintah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Dalam RPJM, pemerintah menyadari bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hasil survei TIMMS memperlihatkan bahwa nilai murid di Indonesia secara umum lebih rendah dari standar rata-rata.
Menurut pemerintah kualitas pendidikan ini terutama disebabkan oleh 1) ketersediaan pendidik yang belum memadai baik kualitas maupun kuantitas, 2) kesejahteraan pendidik masih rendah, 3) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, 4) biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.
Hasil survei Depdiknas tahun 2004 menggambarkan rendahnya tenaga pendidik ini. Survei menunjukkan bahwa belum semua tenaga pendidik SD/ MI berpendidikan D-2 ke atas (baru mencapai 61.4 persen). Demikian juga guru SMP/ Mts masih banyak yang berpendidikan di bawah D-3. Guru SMP/MTs yang mengenyam pendidikan D-3 ke atas barulah mencapai 75.1 persen. Dengan kualitas pendidikan formal guru yang belum memadai tentu saja tak mungkin diharapkan mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Persoalan rendahnya kesejahteraan pendidik juga merupakan persoalan tersendiri. Alasan ini tak jarang menyebabkan pendidik terpaksa mencari tambahan pendapatan lain. Sehingga terjadi kasus sekolah atau pendidik menjadi agen penjualan buku-buku wajib untuk murid. Kejadian ini memungkinkan terjadinya buku wajib yang berganti setiap tahunnya, yang memberatkan beban orang tua murid.
Ditengah upaya meningkatkan kualitas pendidikan ini, pemerintah menghadapi kendala yang serius yaitu keterbatasan dana. Dengan latar belakang demikian sejumlah kebijakan diambil oleh pemerintah SBY-Kalla sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Perpanjangan Masa Pakai Buku Pelajaran Sekolah
Setiap kali kenaikan kelas, orang tua murid selalu gundah mencari tambahan biaya untuk membeli buku paket pelajaran baru dari sekolah. Ditengah-tengah keresahan orang tua siswa tersebut, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Alwi Shihab, melontarkan gagasan pemberlakuan buku pelajaran minimal 5 tahun. Gagasan ini muncul merespon ramainya keluhan para orang tua siswa yang harus menanggung lebih banyak biaya untuk buku paket pelajaran. Meskipun seorang siswa memiliki kakak yang duduk di kelas lebih tinggi, ia harus membeli buku pejarana baru. Fenomena ini seringkali dilukiskan dengan jargon ”ganti tahun ganti buku pelajaran”.
Menindaklanjuti gagasan Menko Kesra ini, akhirnya kebijakan tentang perbukuan tingkat SD sampai dengan SLTA dimasukkan sebagai target wajib belajar pendidikan 9 tahun dalam Program 100 Hari SBY. Untuk ini akan diterbitkan Peraturan Presiden yang megatur buku pelajaran.
Substansi peraturan ini antara lain adalah buku pelajaran dibatasi masa pakainya minimal lima tahun. Penerbit dilarang langsung berjualan buku ke sekolah dan ada sanksi administrasi bagi pelanggarnya. Hal ini terutama untuk menghindari praktik percaloan buku di sekolah yang ujung-ujungnya hanya akan memberatkan beban orang tua siswa.
Kebijakan pembatasan buku pelajaran ini sekilas nampak sebagai kebijakan populis. Artinya pemerintah dengan kebijakan ini ingin mencitrakan keberpihakannya pada rakyat banyak. Pasalnya dengan mematok buku pelajaran berlaku minimal selama lima tahun, masyarakat tak perlu harus membeli buku pelajaran baru. Siswa memiliki pilihan untuk memakai buku pelajaran kakak kelasnya, sehingga siswa miskin tak lagi perlu mengeluarkan biaya.
Namun demikian, Perpres pembatasan buku pelajaran sekolah ini apabila tidak dikaji secara serius sebenarnya mengandung dampak negatif menghambat pembaharuan informasi bagi anak didik. Untuk menghindari ”salah kebijakan” yang dapat berakibat buruk bagi mutu pendidikan di Indonesia sebaiknya pemerintah SBY-Kalla memilah persoalan yang ada. Dalam hal buku paket sekolah ini, sebenarnya ada dua akar persoalan yang membutuhkan penyelesaian berbeda.
Persoalan pertama, mutu buku paket pelajaran. Mutu buku sekolah saat ini masih sangat rendah. Hal ini paling tidak tercermin dari studi Sri Redjeki pada tahun 1997. Dari sekitar 300 buku teks biologi SD-SMA yang ia teliti, ternyata isi buku-buku teks Biologi yang digunakan di sekolah-sekolah Indonesia ketinggalan 50 tahun (Supriadi, Dedi 2000: 27).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebelum adanya pembatasan masa berlaku buku pelajaran saja buku-buku ilmu pengetahuan Indonesia tertinggal jauh. Apalagi kalau di adakan pembatasan sebagaimana yang dilontarkan oleh pemerintah.
Ilmu pengetahuan dan informasi berkembang sangat cepat, apabila buku pelajaran dipatok berlaku selama minimal 5 tahun akan menghambat perkembangan pengetahuan anak didik. Apalagi perubahan isi buku tidak hanya menyangkut substansi atau isi, tetapi juga metodologi dan cara penyampaian. Persoalan menjadi lebih parah karena masyarakat Indonesia saat ini masih amat bergantung kepada buku pelajaran dan belum terbiasa dengan media lain seperti internet, sementara guru tidak memiliki motivasi mencari alternatif informasi, hal ini dapat menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia[4].
Oleh karena itu kebijakan pembatasan masa pakai buku pelajaran ini ditakutkan justru akan lebih menurunkan kualitas pendidikan siswa Indonesia. Melihat kondisi ini semestinya pemerintah justru mengambil kebijakan untuk memperbaharui secara kontinyu buku paket pelajaran siswa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada.
Persoalan kedua, mencegah beban biaya yang terlalu berat bagi orang tua siswa. Buku sekolah saat ini memegang peranan yang sangat dominan di sekolah. Studi yang dilakukan terhadap 867 SD dan MI di Indonesia mencatat bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku pelajaran di SD berkorelasi positif dan signifikan dengan hasil belajarnya sebagaimana diukur dengan Nilai Ebtanas Murni (Supriyadi 1997 dalam Supriyadi 2000: 46). Semakin banyak buku yang dimiliki dan dibaca oleh siswa semakin baik prestasi belajarnya.
Meskipun buku memiliki arti yang sangat penting dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, namun harus dimaklumi bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih miskin. Jangankan membeli banyak buku pelajaran sekolah, biaya pokok sekolah saja masih menjadi kesulitan tersendiri bagi mereka. Saat ini mayoritas masyarakat menganggap pendidikan merupakan sesuatu yang mahal[5].
Ditengah persoalan semacam ini, praktek percaloan buku di sekolah sudah menjadi rahasia umum. Pihak guru atau sekolah mengharuskan siswa untuk membeli buku-buku paket pelajaran melalui mereka, sehingga muncul semacam praktek monopoli yang merugikan. Keharusan membeli buku pelajaran baru setiap tahun ajaran baru membuat beban orang tua menjadi lebih berat.
Kebijakan pemerintah yang diambil semestinya mengatasi dua hal tersebut. Publik membutuhkan kebijakan yang mampu mengurangi beban orang tua tanpa mengorbankan kualitas pendidikan siswa. Kualitas pendidikan siswa dapat dijaga dengan menerbitkan kebijakan yang ketat terhadap pembaharuan isi dan metodologi buku pelajaran. Selain itu juga memperbesar akses siswa terhadap buku pelajaran. Salah satu caranya tentu saja dengan diterbitkannya banyak jenis buku paket gratis dan buku murah.
Mahkfiuddin Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), menyarankan agar kebijakan yang ditempuh bukannya mematok masa pakai buku pelajaran namun memperketat pengawasan agar tidak terjadi monopoli perdagangan buku di sekolah. Selain itu ia juga mengusulkan adanya pembenahan subsidi pada buku pejaran, buku pelajaran dapat dibebaskan dari pajak sehingga harganya lebih murah.


sumber: theindonesianinstitute.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar