Jumat, 17 April 2009

Meningkatkan Akses ke Pendidikan Tinggi

UUD 1945 menetapkan salah satu kewajiban konstitusional negara adalahmencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka melaksanakan cita-cita nasional tersebutPT mempunyai tugas amat luhur dan menjadi harapan para warga bangsa. PT tidak sajadipandang mampu menentukan kemajuan dan masa depan bangsa melalui peningkatankinerja ekonomi nasional, tetapi juga diharapkan mampu menciptakan keadilan sosialmelalui akses ke perguruan tinggi.Subsidi adalah instrumen kebijakan yang digunakan Pemerintah Indonesia untukmerealisasikan keadilan dan pemerataan pada berbagai pelayanan publik, termasukpendidikan tinggi. Pada tahun anggaran 2005, misalnya Pemerintah menyediakan lebihdari Rp 100 trilyun untuk subsidi, tidak termasuk pembiayaan pendidikan tinggi sebesarRp 6,2 trilyun.Pada waktu kemampuan keuangan cukup kuat, pemerintah mampu membiayaipenyelenggaraan pendidikan tinggi. Selama ini pemerintah menyubsidi biaya pendidikantinggi sekitar 75 persen. Namun sekarang, keuangan pemerintah tidak seperkasa dulu,padahal untuk meningkatkan mutu akademik dan memperbesar dan memeratakan aksesperlu dukungan dana yang besar. Pilihan yang dilematis sekarang harus dibuat olehPemerintah. Apakah kebijakan status-quo dilanjutkan dan hanya menyediakanpembiayaan seadanya sebesar Rp. 6,2 juta per orang untuk semua mahasiswa dengankonsekuensi PT tidak mampu mencapai mutu akademik dan akses semakin terbatas, danhanya mampu dijangkau oleh 4 persen kelompok masyarakat kurang mampu? Atau, beriPT kemandirian lebih besar untuk mengembangkan strategi pembiayaan yang lebihrasional sehingga dapat memperbaiki mutu dan memperbesar akses bagi kelompokmasyarakat kurang mampu?Resep Nicholas Barr ternyata Indonesia bukan satu-satunya bangsa yang sedang mengghadapi kondisidilematis ini. Bangsa Inggris juga sedang menghadapi masalah pendidikan yang samayakni, merosotnya kualitas akademik dan rendahnya akses golongan ekonomi lemah keperguruan tinggi. Dalam majalah The Economist edisi 8 September 2005, diungkapkanhasil survei Shanghai Jiao Tong University tahun 2004, dari 20 top world universities, 17adalah universitas Amerika Serikat, 2 perguruan tinggi Inggeris dan 1 universitas Jepang.Artikel tersebut juga mengungkapkan ketimpangan akses antara 2 negara, hanya 16persen anak-anak keluarga kurang mampu di Inggeris mendapatkan akses ke PTm,sedangkan di Amerika Serikat lebih dari 45 persen.Prof. Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari London School of Economics(LSE), mengajukan resep cukup menarik untuk dipelajari. Versi ringkas pikiran Prof.Barr sudah diterbitkan di harian The Guardian edisi Juni 12, 2003 dengan judul “Howbest to widen university access – by abolishing fees as Tories suggest, or by enhancingloans, as the government plans”? Versi lebih lengkap diterbitkan dalam bentuk whitepaper berjudul “Financing Higher Education: Comparing the Options” yang disusunnyauntuk Partai Buruh yang sedang berkuasa di Inggris.Menjelang Pemilu tahun 2004, salah satu agenda politik yang dipilih oleh duapartai yang sedang bersaing keras berebut dukungan publik Inggris adalah isukemerosotan mutu dan terbatasnya akses golongan lemah ke perguruan tinggi. PartaiTorries, yang merupakan partai oposisi, berjanji akan meningkatkan akses golongankurang mampu dengan memberi subsidi penuh kepada mahasiswa. Sebaliknya, PartaiBuruh yang sedang berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan akses golongan kurangmampu melalui pembayaran yang ditangguhkan (deferred payments). Sederhananya, paramahasiswa dari keluarga mampu boleh kuliah dulu dan membayar kemudian.Menurut penilaian Barr, subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan tidakselalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi.Menggunakan penerimaan dari pajak sebagai sumber pembiayaan pendidikan tinggi akanmenyebabkan dana untuk program lainnya menjadi berkurang. Dalam real politics,subsidi untuk pendidikan tinggi selalu kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untukmembiayai pendidikan wajib dan program pra-sekolah.Kedua, dalam pelaksanaannya subsidi di Inggris selalu kurang menguntungkankelompok miskin. Selama bertahun-tahun, akses keluarga kurang yang mampu kependidikan tinggi hanya 15 persen, dibandingkan 81 persen dari keluarga mampu.Sebaliknya, di Amerika yang mengikuti sistem pasar, akses keluarga kurang mampumencapai 43 persen.Ketiga, subsidi pemerintah selalu lebih menguntungkan kelompok yang lebih baikkondisi ekonominya. Di Inggris cukup banyak anggota masyarakat yang mendukungrencana sistem pajak progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan pemerintahdari pajak lebih digunakan untuk pendidikan pra-sekolah, menurunkan angka drop-outspada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus untukanak-anak keluarga tidak mampu.Opsi kedua, yang menjadi agenda politik Partai Buruh, adalah usul sebaliknya.Masyarakat yang memerlukan pendidikan tinggi bermutu tinggi harus membayar biayainvestasi masa depannya. Yang lebih mampu harus membayar lebih tinggi dan akses kependidikan tinggi dibiayai melalui pinjaman.Belajar dari kegagalan masa lalu dalam pelaksanaan student loans, Pemerintahmenjamin pembayaran kembali melalui pembayaraan pinjaman melalui potongan gajibersamaan dengan pemungutan pajak penghasilan. Pembayaran melalui pemotongan gajiini memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Yang berpendapatan rendahmengangsur lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur lebih besar. Opsiini pada dasarnya ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan dari kelompok mampuyang tidak lagi menerima subsidi ke kelompok tidak mampu yang menerima pinjamanuntuk mendapatkan akses ke perguruan tinggi.sumber : http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/MENINGKATKAN-AKSES-KE-PENDIDIKAN-TINGGI-ver-2.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar