Sabtu, 28 Februari 2009

Mengkritisi Pendidikan Dasar Gratis

Di sektor pendidikan (dasar), berkaitan dengan kenaikan harga BBM tersebut, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono begitu gencar melakukan sosialisasi pendidikan gratis di berbagai media. Pemerintah terus mengampanyekan bahwa dengan dialihkannya sebagian subsidi BBM ke pembiayaan pendidikan, maka pendidikan dasar akan dapat dinikmati rakyat secara gratis (Kompas, 21 Maret 2005). Pertanyaannya, mungkinkah pendidikan dasar gratis bagi seluruh siswa SD negeri di Indonesia tersebut dapat diwujudkan? Tulisan berikut ini mencoba menelaahnya.

TAK ada yang membantah bahwa pendidikan adalah kunci kehidupan. Melalui pendidikan, setiap manusia "dimanusiakan" sehingga ia bisa hidup dan dapat menikmati serta memaknai kehidupannya secara bermartabat.

Oleh karena itu, setiap manusia mempunyai hak untuk mendapatkan akses pendidikan yang memungkinkannya memiliki kesadaran kritis dalam menyikapi dinamika dan fenomena yang terjadi di masyarakatnya. Dengan demikian, tersedianya pendidikan berbiaya murah-apalagi gratis seperti yang dijanjikan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini-menjadi sangat penting

Meski demikian, sikap kritis kita terhadap kebijakan pemerintah tersebut harus tetap dilakukan. Ini menjadi penting mengingat untuk mewujudkan pendidikan gratis bagi seluruh siswa SD negeri di Indonesia, seperti yang dijanjikan pemerintah, bukanlah perkara mudah. Upaya mewujudkan pendidikan gratis tersebut hendaknya tidak dilakukan secara terputus-putus, melainkan harus dilakukan secara berkesinambungan, dengan penuh persiapan dan perhatian.

Terhadap keinginan pemerintah menggratiskan pendidikan dasar, menurut pakar pendidikan yang juga Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Suyanto PhD, itu tidak dapat dilakukan secara terputus-putus. Untuk itu, perlu dirancang pola distribusi anggaran yang tepat agar dana untuk menggratiskan pendidikan dasar itu tidak sampai putus di tengah jalan, karena hanya akan menjadi sia-sia.

Dalam kerangka inilah pemerintah mesti cermat dan realistis dalam menyusun dan menetapkan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan dasar gratis bagi seluruh siswa SD negeri di seluruh Indonesia. Mengingat jumlah anggaran pendidikan yang tersedia saat ini, hampir dapat dipastikan bahwa pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk menggratiskan pendidikan SD negeri secara keseluruhan. Mari kita lihat perhitungan berikut ini.

Data Balitbang Depdiknas (2004) berkaitan dengan analisis biaya satuan pendidikan (BSP) untuk pendidikan dasar dan menengah, biaya yang dikeluarkan oleh orangtua siswa meliputi: (1) buku dan alat tulis sekolah, (2) pakaian dan perlengkapan sekolah, (3) akomodasi, (4) transportasi, (5) konsumsi, (6) kesehatan, (7) karyawisata, (8) uang saku, (9) kursus, (10) iuran sekolah, dan (11) foregone earning.

Berdasarkan data tersebut, BSP yang harus dikeluarkan orangtua siswa yang anaknya bersekolah di SD negeri mencapai angka Rp 5,967 juta, di SD swasta Rp 7,506 juta. Sementara yang anaknya bersekolah di SMP negeri mencapai angka Rp 7,528 juta dan di SMP swasta mencapai Rp 7,862 juta (Ki Supriyoko, 2005).

Jika memang seperti yang dikampanyekan pemerintah bahwa pemerintah-berkaitan dengan kenaikan harga BBM tersebut-akan menggratiskan pendidikan dasar di SD negeri seluruh Indonesia, maka untuk SD negeri saja dana kompensasi yang harus dikeluarkan pemerintah adalah Rp 143,56 triliun. Belum lagi untuk SD swasta, SMP negeri, dan SMP swasta.

Dari jumlah dana ratusan triliun rupiah yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menggratiskan pendidikan dasar di seluruh SD negeri di Indonesia tersebut, jelas sekali bahwa pemerintah tidak akan mampu mewujudkannya. Dana kompensasi kenaikan harga BBM untuk pendidikan yang hanya Rp 5,6 triliun itu tidak ada apa-apanya.

UNTUK itu, agar pemerintah (Depdiknas) tidak kehilangan muka, maka rekomendasi yang mesti dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, pemerintah harus secara tegas menjelaskan batasan pendidikan dasar gratis bagi seluruh siswa di SD negeri di seluruh Indonesia itu dalam hal apa saja. Gratis yang dimaksudkan tersebut apakah hanya sumbangan BP3-nya (baca: SPP) atau keseluruhan kebutuhan biaya pendidikan siswa selama mengikuti dan menuntaskan pendidikannya di tingkat dasar. Klarifikasi tentang batasan pendidikan gratis yang dimaksudkan itu mutlak dilakukan agar tidak terjadi misunderstanding dan miskonsepsi.

Kedua, efisiensi pendanaan pendidikan. Pendanaan pendidikan yang selama ini begitu memberatkan orangtua, apalagi sesungguhnya pengeluaran tersebut tidak berkaitan secara langsung dengan proses pembelajaran, harus segera dipangkas.

Ketiga, kalau memang pemerintah (Depdiknas) sunguh-sungguh mempunyai political will yang kuat untuk memajukan dunia pendidikan, khususnya pendidikan dasar, maka untuk menutupi kekurangan alokasi dana pendidikan dasar gratis tersebut, pemerintah (termasuk pemerintah daerah) harus mencari alokasi dana alternatif.

Keempat, mengingat jumlah dana kompensasi yang dibutuhkan ternyata sangat besar untuk menggratiskan pendidikan dasar di SD negeri di seluruh Indonesia, maka efektivitas pola pemberian beasiswa seperti yang telah dilakukan saat ini dapat menjadi pilihan yang sangat elegan dan realistis yang dapat dilakukan pemerintah.

Itulah catatan yang mesti didiskusikan agar pemberian dana kompensasi BBM di sektor pendidikan dasar tersebut tepat sasaran dan berhasil sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Jika tidak, kekhawatiran banyak pihak bahwa pelayanan pendidikan dasar gratis yang dijanjikan pemerintah tersebut hanyalah lips service semata akan menjadi kenyataan.


sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0504/11/Didaktika/1673011.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar