Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan Khusus Anak Korban Lumpur

SEMBURAN lumpur panas PT Lapindo Brantas (Lapindo) yang tiada henti telah melumpuhkan hampir seluruh sendi kehidupan di Sidoarjo, Jawa Timur dan sekitarnya. Imbasnya pun merembet ke segenap sektor riil dan pranata sosial yang ada di dalamnya. Pemerintah dituntut bertindak cepat dalam mengantisipasi dampak luas bencana itu.

Bidang pendidikan, salah satu sektor penting yang perlu diperhatikan. Anak-anak korban lumpur panas, yang tidak bisa lagi bersekolah dan saat ini tinggal di tempat-tempat penampungan, perlu dimotivasi kembali agar tetap mempunyai gairah belajar. Tanpa melupakan prioritas tindakan lain, seperti penanganan bencana lumpur, kebutuhan relokasi, atau ganti rugi tanah warga, anak-anak ini tetap tidak boleh terlalu lama meninggalkan bangku sekolah dan terus-menerus dibayangi ketakutan dan kesengsaraan hidup seperti yang mereka alami saat ini.

Melalui pendidikan layanan khusus, mereka dapat diberi pengertian multidimensi tentang apa yang sekarang mereka rasakan. Harapannya, mereka lebih tegar dan lebih siap lahir batin menatap kehidupan. Sebab, tekanan mental dan psikis biasanya cukup sulit dipulihkan pada diri anak-anak korban bencana, termasuk anak-anak korban lumpur panas yang saat ini sebagian besar tinggal di lorong-lorong kumuh pasar Porong dan Jalan Tol.

Luapan lumpur panas Lapindo memang bukan tergolong bencana akibat peristiwa alam mahadahsyat seperti gempa bumi atau tsunami yang terjadi belakangan ini. Hal itu terjadi karena kecerobohan manusia. Meski begitu, tetap saja ratusan bahkan ribuan anak menderita atas akibat yang ditimbulkannya.

Karena itu, kebijaksanaan dan perlakuan khusus model pendidikan di daerah bencana seyogianya juga diterapkan dan dijalankan di Sidoarjo. Sebab, hal ini telah secara tegas dikatakan oleh undang-undang mengenai pilihan model pemulihan pendidikan dengan layanan khusus yang mengacu pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 ayat 2 berbunyi: "Pendidikan layanan khusus diberikan kepada anak didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi."

Anak korban lumpur panas bisa dikategorikan sebagai anak didik yang terkena bencana sosial dan tidak mampu dari segi ekonomi. Bencana sosial karena mereka ikut merasakan penderitaan dan ketidakjelasan atas keberlanjutan pendidikannya akibat efek luas yang ditimbulkan secara sosial. Mereka juga tidak mampu dari segi ekonomi karena sebagian besar orang tuanya telah kehilangan mata pencaharian akibat terendamnya sawah dan ladang oleh lumpur panas, serta diperkirakan tidak akan bisa dimanfaatkan kembali akibat ketidakpastian kapan berhentinya luapan lumpur.

Pendidikan layanan khusus ini tentunya juga harus mempertimbangkan persiapan mental para anak didik. Selain itu, konsepnya mesti lebih ditekankan pada pemulihan tekanan mental, traumatik, dan kesehatan kejiwaan mereka.

Apa yang terjadi di wilayah mereka merupakan pelajaran terpenting yang akan selalu dikenang. Secara psikologis, mereka tentunya lebih 'tahan banting' karena sudah mengalami penderitaan, kesulitan, dan tantangan hidup yang sesungguhnya. Falsafah yang pernah dilontarkan Rupert C Lodge dalam bukunya Philosophy of Education menjadi gambaran dari kondisi anak-anak korban lumpur sekarang; in this sense, life is education and education is life. Pelajaran terpenting yang telah termaterialisasikan dalam tiap-tiap pribadi anak-anak korban lumpur adalah pergulatan hidup yang sesungguhnya.

Beban mental dan psikologis anak-anak korban lumpur panas sudah barang tentu berbeda dengan generasi-generasi lain yang selalu dininabobokan kemapanan hidup. Anak-anak di pengungsian, setidak-tidaknya akan mampu mencapai taraf kemapanan berpikir rasional dengan berbagai macam musibah dan dinamika kehidupan di sekitar mereka. Sehingga, bisa jadi pelajaran kehidupan terpenting sebenarnya telah diserap dari bencana yang diderita.

Kita semua berharap agar pendidikan anak-anak korban lumpur panas menjadi salah satu perhatian utama pemerintah. Penanganan pendidikan semacam ini dimulai dengan penanganan psikologis. Spirit belajar dan rasa optimisme menghadapi hidup, gairah bermain, berbaur dengan teman-teman sebaya, dan keceriaan mereka harus dipulihkan. Langkah ini diperlukan demi mengembalikan semangat belajar pada usia anak didik.

Di samping itu, secara fisik rehabilitasi dan rekonstruksi secara sistematis, seperti penyediaan tenaga guru di tempat-tempat relokasi, sarana-sarana pendidikan, menempatkan mereka pada gedung sekolah yang jauh dari lokasi bencana, menata kembali program belajar yang tertunda dll juga harus dipertimbangkan.

Meski terkesan ala kadarnya, aspek dan fungsi-fungsi pokok pendidikan tetap tidak boleh diabaikan. Sebagaimana pernah disinggung John Dewey, pendidikan harus didudukletakkan sebagai kebutuhan hidup (necessity of life), fungsi sosial (social function), bimbingan (direction), sarana pertumbuhan (growth), serta mempersiapkan, mengembangkan, dan membentuk kedisiplinan (preparation, unfolding and formal discipline). Karena itu, pemulihan semangat dan pendekatan psikologis melalui infrastruktur dan pola pendidikan yang memadai setidaknya akan dapat memengaruhi perbaikan-perbaikan struktur sosial dan kejiwaan anak-anak korban lumpur Lapindo demi menatap cerahnya hari esok.

Sekali lagi, realisasi pendidikan layanan khusus harus benar-benar mampu merekonstruksi pendidikan bagi anak-anak korban lumpur panas Lapindo serta daerah-daerah pascabencana yang lain. Itu hanya bisa dicapai kalau pemerintah memang memiliki political will dan iktikad baik dalam memosisikan mereka sebagai generasi yang juga sepatutnya memperoleh kelayakan fasilitas, akses, dan atensi pendidikan seperti anak-anak lain.

sumber: http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/fokus/artikel.php?aid=12257

SENTRA LAYANAN PENDIDIKAN KHUSUS

Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB) mengubah paradigma layanan pendidikannya tidak saja mengurusi anak cacat yang selama ini disebut sebagai siswa luar biasa, tetapi juga siswa yang memiliki prestasi luar biasa seperti siswa pemenang lomba otak tingkat internasional siswa berbakat lainnya dalam bidang non-eksakta.
"Selama ini, PLB dikonotasikan sebagai direktorat yang menangani anak cacat. Padahal, mereka yang luar biasa itu termasuk anak-anak cerdas yang tergabung dalam kelas akselerasi. Mereka semua akan ditangani oleh layanan pendidikan yang disebut Sentra Layanan Pendidikan Khusus," kata Direktur PLB, Eko Djatmiko dalam penjelasannya kepada wartawan, di Jakarta, belum lama ini.
Perubahan paradigma ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tidak menyebutkan satu pun mengenai sekolah luar biasa. Dalam UU Sisdiknas itu hanya ada pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Menurut dia, pendidikan khusus - pendidikan bagi siswa yang yang tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau punya potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Saat ini sedikitnya ada sekitar 66.000 siswa SD-SLTA di Indonesia yang belum terlayani oleh PLB. Dari jumlah tersebut, 54.000 di antaranya siswa dari kelompok wajib belajar - SD-SLTP. Untuk mengatasi hal ini pemerintah terus meningkatkan pelayanan, termasuk pendidikan inklusif.
Eko Djatmiko menyebut anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus, selain anak cacat yang selama ini telah ditangani PLB adalah mereka memiliki kecerdasan diatas rata-rata (IQ diatas 125), memiliki potensi bakat istimewa antara lain bidang musik, tari, bahasa, interpersonal hingga spiritual. Selain itu, mereka yang mengalami kesulitan belajar seperti dyslexia (baca), dysphasia (bicara), anak hiperaktif dan anak autis.
Menurut Eko, Sentra Layanan Pendidikan Khusus itu akan diujicobakan di 12 daerah di Indonesia. Ke-12 sentra pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tersebut berlokasi di Medan, Batam, Lampung, Jakarta, Sumedang, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Mataram, Banjarmasin dan Makassar.
Jumlah ini terdapat pada peserta didik Sekolah Luar Biasa sebanyak 81.434 siswa yang terdiri dari 3.218 siswa tunanetra, 19.199 siswa tunarungu, 27.998 siswa tunagrahita ringan, 10.547 siswa tunagrahita. Sedang 1.920 siswa tunadaksa ringan, 553 siswa tunadaksa, 788 siswa tunalaras, 450 siswa tunaganda, 1.752 siswa Autis dan berkebutuhan khusus 10.338 siswa serta program percepatan belajar 4.671 siswa.
Pelaksanaan Pendidikan Layanan Khusus diperuntukan bagi Sekolah yang kesulitan geografisnya itu seperti di wilayah Bengkulu dan Sulsel dan Sekolah untuk kesulitan etnis minoritas seperti Badui dan Kubu. Kemudian, sekolah untuk daerah bencana alam, sekolah untuk kesulitan hambatan sosial seperti anak jalanan, pekerja anak, dan pengungsi, serta Sekolah untuk kesulitan hambatan ekonomi seperti anak miskin.
Dijelaskan, pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini akan memanfaatkan sekolah luar biasa (SLB) pembina yang biasanya ada di masing-masing kabupaten/kota. Sekolah tersebut akan ditambah aneka fasilitas yang menampung semua anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus.
Ia mencontohkan, fasilitas komputer yang ada di Sentra bukan hanya digunakan untuk kegiatan tulis menulis bagi lewat komputer, tetapi harus bisa memberi nilai lebih bagi anak sehingga lulusannya bisa menjadi seorang web designer dan membuat program komputer.
Satu kendala yang akan dihadapi pada pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini adalah penyiapan tenaga pendidiknya. "Karena ini sekolah khusus, gurunya juga tidak bisa lagi yang standar seperti yang ada saat ini. Karena itu, selama masa persiapan kami akan memberi keterampilan tambahan kepada guru-guru yang akan terlibat dan Sentra Pendidikan Khusus," ucap Eko Djatmiko.
Keberadaan Sentra Pendidikan Khusus disambut Ketua Tim Pengerak PKK dan juga istri Menteri Dalam Negeri, RR Susyati Ma'ruf. Ia meminta kepada para istri Gubernur, Walikota dan Bupati di Indonesia untuk lebih memperhatikan hak azasi anak-anak untuk mendapat layanan pendidikan secara baik.
Pasalnya, sekarang ini angka putus sekolah terancam semakin meningkat menyusul sejumlah peristiwa bencana yang terjadi. "Anak jalanan, anak-anak korban gempa dan anak-anak yang kehilangan masa depannya karena konflik berkepanjangan di negeri ini tidak boleh sampai kehilangan haknya untuk tetap belajar dan memperoleh layanan pendidikan. Mereka menurut Undang Undang Sisdiknas dan UUD menjadi tanggungjawab negara dan kita bersama. Mereka sebaiknya ditangani secara khusus. Karena itu mereka menjadi tanggung jawab pendidikan khusus dan layanan khusus," katanya.
Menurut Susyati, istri dari pimpinan pemerintah daerah seharusnya menjadi pilar pertama dalam menyelamatkan anak-anak dari putus sekolah dan kehilangan masa depannya. Karena sebagai generasi penerus bangsa, negera ini membutuhkan manusia-manusia Indonesia yang berkarakter dan unggul.

sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=149788

KA Kanwil Depkum dan HAM Sumut Resmikan Pendidikan Layanan Khusus di Lapas Anak Medan

Hakikat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak harus memiliki lembaga pendidikan. Walau belum optimal, pembinaan mereka yang berada di Lapas harus dapat mengikuti pendidikan seperti paket B, C maupun paket A sehingga tidak terbengkalai untuk belajar.
Ka Kanwil Depkum dan HAM Sumut Sihabudin BcIP SH didampingi Kalapas Klas I A Tanjung Gusta Medan Samuel Purba SH MH, Kalapas Anak Klas II A Medan Siswanto BcIP SH mengatakan hal itu kepada wartawan disela-sela peresmian pendidikan Layanan Khusus Beringin Lapas Anak Klas II A Medan bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional di Lapas Klas II A Medan, Sabtu (14/2).

Namun karena masalah hukum dengan masalah pendidikan yang harus dijalankan secara formal, maka pihaknya mencoba jalur pendidikan layanan khusus agar mereka tetap dapat mengikuti kegiatan pendidikan dan ketrampilan yang ada di Lapas Anak Medan. “Tujuannya agar mereka lebih percaya diri,” ujarnya.
Menurutnya, pengadaan alat ketrampilan pendidikan khusus itu seperti mesin jahit, komputer dan lainnya merupakan bantuan. “Mesin jahit bantuan, kompter bantuan. Kita dari negara tidak mengeluarkan duit. Ini merupakan suatu kerjasama Lapas dengan lembaga-lembaga yang peduli Lapas Anak”, ujarnya.
Sementara Kalapas Klas II A Anak Medan Siswanto BcIP SH mengatakan, hak pendidikan anak yang berada di dalam Lapas harus tetap diteruskan. “Anak merupakan asset bangsa. Kita harus melakukan semaksimal mungkin untuk memajukan mereka. Biarlah mereka menemukan dirinya sendiri. Karena prinsip pendidikan adalah mendewasakan diri, menemukan diri,” ujarnya.
Ia memohon kepada Dinas Pendidikan agar di Lapas Anak Medan ada sekolah formal untuk tingkat SD, SLTP dan SLTA. Sekolah tersebut ditangani Dinas Pendidikan sedangkan pihak Lapas menyediakan tempat dan anak didik yang bersekolah. Untuk sementara yang sudah dilakukan di Lapas adalah kejar paket B tingkat SMP.

Dalam kesempatan itu Siswanto juga menginformasikan, pada UAN tahun lalu ada 6 anak yang mengikuti ujian di dalam Lapas dan 4 orang di luar Lapas. “Semua yang mengikuti UAN tersebut lulus. Mereka sangat berbangga hati lulus ujian meskipun menjalani hukuman,” jelasnya.
Ketika ditanya penghuni Lapas hingga saat ini, Siswanto mengatakan, sudah sangat over kapasitas. Daya tampung Lapas 250 orang, namun penghuninya mencapai 852 orang. Dari jumlah tersebut, 401 orang napi dan 451 orang tahanan dengan perkara paling banyak narkoba mencapai 361 kasus (40 persen lebih) disusul pencurian 228 kasus.

Dari jenjang pendidikan, penghuni Lapas yang berpendidikan SD sebanyak 216 orang, SMP 303 orang, SMA 316 orang dan mahasiswa 12 orang. Selain itu, ada 5 orang yang masih buta huruf.
Acara peresmian itu dihadiri Kadiv Pemasyarakatan Kanwil Depkum dan HAM Sumut Sugihartoyo BcIP SH, Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumut Saiful Safri Sipahutar, Kadis Kesehatan Medan Umar Zein dan dari Dinas Pendidikan Sumut dan Medan.
Usai acara peresmian, Kakanwil bersama para pejabat dan undangan lainnya meninjau berbagai ruang ketrampilan seperti ruang menjahit, komputer, seni, pangkas, perpustakan.

sumber: http://hariansib.com/2009/02/15/ka-kanwil-depkum-dan-ham-sumut-resmikan-pendidikan-layanan-khusus-di-lapas-anak-medan/

Sentra Pendidikan Layanan Khusus Ditambah

Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.

Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.

”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.

Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.

Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.

Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.

Anggaran ditingkatkan

Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.

Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas,” ucapnya.

sumber: http://www.jugaguru.com/news/31/tahun/2006/bulan/11/tanggal/20/id/242/

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

KUPANG,SABTU-Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.

Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.

Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.


sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/11/18122444/masyarakat.harus.dukung.pendidikan.layanan.khusus

TINGKATKAN SDM, TNI AL BUKA EMPAT PENDIDIKAN KHUSUS

Untuk meningkatkan kualitas dan keahlian sumber daya manusianya, TNI AL melalui Komando Pengembangan dan Pendidikan Angkatan Laut (Kobangdikal) lagi-lagi membuka empat pendidikan kuaklifikasi khusus (Dikbrivet), Dikpaska, Diktaifib, Dikjursel dan Dikcawakasel yang dibuka secara resmi oleh Wakil Komandan Kobangdikal Brigjen TNI Marinir Halim A. Hermanto, di Lapangan Kihadjar Dewantara, Kobangdikal, Selasa (20/11).

Menurut Komandan Kobangdikal Laksda TNI Edhi Nuswantoro dalam amanatnya yang dibacakan Wadan mengatakan, selain pengembangan organisasi, penambahan dan pemutakhiran teknologi alutsistanya, kemampuan prajurit yang handal juga menjadi prioritas utama, seperti halnya empat program pendidikan berkualifikasi khusus ini.

Dikaitkan dengan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia, yang berbentuk kepulauan dan lautnya yang terbuka, setengah terbuka dan tertutup, lanjut laksamana kelahiran Jogya 1952 ini, maka kehadiran naval power akan memberikan tiga keunggulan sekaligus, yaitu keunggulan sebagai unsur devensif yang mematikan, unsur ovensif yang efektif dan detterence factor yang baik, sehingga musuh akan takut dan mengurungkan niat jahatnya.

Menurutnya, strategi pertahanan negara kita harus mengedepankan strategi pertahanan maritim dengan memperhatikan kondisi geografis sebagai negara kepulauan. Oleh karena itu, TNI AL harus mampu mewujudkan laut yang aman dan terkendali, yaitu kondisi laut yang bebas dari beberapa ancaman,” tegas orang nomor satu di Kobangdikal ini.

“sudah sepantasnya Indonesia mempunyai kekuatan Angkatan Laut setara Green Water Navy yaitu kekuatan yang dapat diandalkan untuk menegakkan stabilitas keamanan dan berkemampuan mengadakan perlawanan terhadap setiap Ancaman, Gangguan, Hambatan dan Tantangan (AGHT),“ tegasnya.

Megenai pembukaan empat pendidikan brivet yang berada di bawah tanggungjawabnya, pendidikan Pasukan Katak yang kali ini diikuti 24 orang ini akan dilaksanakan selama 10 bulan dengan tujuan agar para siswa mampu melaksanakan tugas-tugas dalam operasi amfibi maupun tugas-tugas dalam peperangan khusus laut

Sementara itu 24 orang turut dalam pendidikan Calon Awak Kapal Selam yang akan di tempuh selama 9 bulan. Tujuan Dikcawakasel agar para siswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis kapal selam type 209 serta kecakapan khusus yang dapat ditugaskan sebagai pasukan bawah air.

Untuk Pendidikan Juru Selam yang diikuti 13 orang ini akan dilaksanakan selama 6 bulan dengan tujuan untuk mendidik para siswa menjadi juru selam TNI AL yang profesional guna mendukung kesiapan dan keselamatan bawah air khususnya KRI dalam suatu operasi di laut.

Dan Pendidikan Intai Amfibi yang memiliki siswa terbanyak dengan 61 siswa akan dilaksanakan selama 10 bulan. Diktaifib bertujuan agar para siswa menjadi prajurit taifib yang dapat melaksanakan tugas pengintaian dan penyelidikan dalam operasi amfibi dan operasi-operasi lain melalui darat, laut dan udara.

sumber: http://www.i-comers.com/showthread.php?t=2209

Malang Gelar Pendidikan Khusus Penderita Autis

Malang, Kominfo-Newsroom -- Pemerintah Kabupaten Malang, Jawa Timur, melalui kebijakannya sesuai amanat UUD 1945, serta UU Sisdiknas N0 20 Tahun 2003, akan segera melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penderita autis.

Anak penderita autis atau anak-anak dengan berkebutuhan khusus (ABK) yang mengalami kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapat pendidikan guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

Selain pendidikan khusus, pemkab Malang juga akan menambah sekolah inklusif (sekolah biasa) yang dapat mengakomodir semua anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, guru, orang tua peserta didik, tenaga administrasi serta lingkungan sekolah/masyarakat.

Saat ini jumlah sekolah inklusif yang ada di Kabupaten Malang baru delapan sekolah yang tersebar di delapan kecamatan, sedangkan SLB yang ada masih sangat terbatas dan letaknya jauh.

''Ke depan akan dikembangkan sekolah untuk ABK pada masing-masing kecamatan di tiap eks pembantu Bupati,'' kata Kadis P dan K, Drs Suwandi MM, MSC, pada acara sosialisasi pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus kerjasama Tim Penggerak PKK dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Malang, belum lama ini.

Ia mengharapkan, melalui kerjasama yang sinergi antara Dinas P dan K dan TP.PKK (Pokja II) dapat meningkatkan pemahaman terhadap masyarakat tentang arti pentingnya Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus bagi penderita autis guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

sumber: www.jatim.go.id/hsn/toeb

Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Sumber: Media Indonesia, 7 September 2004

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.

sumber: http://www.antara.co.id/arc/2007/12/16/baru-64000-anak-cacat-mendapat-pendidikan-khusus/

Negara Jangan Belenggu Pengelolaan Pendidikan Keagamaan

JAKARTA - Departemen Agama dan Depdiknas yang saat ini tengah menggodok
Rancangan Peraturan Pemerintah Pendidikan Keagamaan (RPP Pendidikan
Keagamaan) yang senapas dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) hendaknya arif dan bijaksana dalam
menempatkan penyelenggaraan pendidikan keagamaan di Indonesia.
"Masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren dalam UU Sisdiknas
hendaknya tidak dijadikan komoditas bagi pemerintahan untuk mengatur
penyelenggaraan dan pengelolaannya," ujar pakar pendidikan Dr Muhamad Ridwan
kepada Pembaruan di Jakarta, Jumat (13/2) .

Sementara itu, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Fuad Fanani, melihat
hegemoni negara kembali tercermin dalam RPP Pendidikan Keagamaan. "RPP itu
hampir sama dengan UU Sisdiknas dan RUU Kerukunan Umat Beragama. Betapa
kentalnya intervensi negara dalam kehidupan publik. Padahal, negara
seharusnya menumbuhkan kesadaran kritis bukan membelenggu," ujarnya.
Dikatakan, Depag dan Depdiknas harus mampu melakukan dialog dengan semua
komponen, sehingga produk PP tidak lagi mendapat perlawanan dan resistensi
begitu besar di tengah masyarakat seperti UU Sisdiknas. "Teman-teman JIMM
siap bergabung dengan komponen lainnya menentang setiap bentuk hegemoni
negara kepada masyarakat," katanya.

Menurut Muhamad Ridwan, di samping menempel dalam pasal-pasal tentang
jenjang pendidikan yang salah satunya menyebut madrasah dan pesantren
tercantum dalam satu pasal khusus, diatur oleh Departemen Agama, hendaknya
hal ini tidak diimplementasikan mengatur secara administratif oleh negara.
Dalam naskah UU Sisdiknas, pendidikan keagamaan diatur pada pasal 26 yang
secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu,
dimasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam
pasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan.

"Peraturan Pemerintah tersebut berlaku untuk semua warga negara tanpa
membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan
secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama
tertentu. Jangan sampai terkesan negara membelenggu pendidikan keagamaan.
Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian
hukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agama
tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khas
yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkan
semua," ujarnya.

Ditegaskan UU Sisdiknas sesungguhnya sudah cukup mengakomodasikan pendidikan
keagamaan sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik,
menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama
tertentu menjadi tidak perlu. Namun, dalam RPP sebaiknya Depag dan Depdiknas
tidak lagi mengatur secara khusus sehingga membuat pesantren atau sekolah
pendidikan keagamaan merasa terkooptasi oleh negara.
Dijelaskan, sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadar
kita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalur
pendidikan sekolah. Sebelum UU No 2 Tahun 1989 dan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjang
pendidikan terendah sebagai sekolah dasar (SD), kemudian jenjang berikutnya
sekolah menengah pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
nama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan.

Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2 tahun 1989 dan Wajar Dikdas
diberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolah
kejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakan
bagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauan
berpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernama
SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya.

Mestinya, nama yang tepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelas
kedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.
Anehnya, dalam naskah UU Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD),
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat
(pasal 17 ayat 2), kemudian Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang
sederajat dan 'Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
terdiri atas tiga tingkat' (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal
20 ayat 3 disebutkan bahwa 'Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)', dan pada ayat 4 'Pendidikan
menengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)'.

sumber: http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Soal-Penyusunan-RPP-Pendidikan-Keagamaan

Pemerintah Daerah Berupaya Maksimal Membantu Pendidikan Keagamaan

Pemerintah daerah akan selalu berupaya maksimal untuk membantu lancarnya pembangunan di bidang pendidikan, khususnya pendidikan di bidang keagamaan, guna mewujudkan Kabupaten Banjar yang Baiman Bauntung dan Batuah. Namun sejauh ini masih terkendala Permendagri nomor 13 tahun 2006, khususnya bantuan yang diberikan kepada sekolah agama swasta.

Hal tersebut dikemukakan Bupati Banjar HG. Khairul Saleh saat menerima kunjungan puluhan orang perwakilan guru-guru agama swasta se-Kabupaten Banjar, Senin (3/12) di runag kerjanya.

Lebih jauh Khairul Saleh menyatakan, salah upaya untuk membantu pendidikan keagamaan tersebut adalah dengan diserahkannya bantuan sebesar sebesar Rp. 3,6 miliyar lebih untuk 1.494 guru TK Alqur’an, 167 guru TK Alqur’an Albanjari, 1.195 guru madrasah diniyah awwaliyah dan 126 guru madrasah diniyah wustho.

Disamping itu bantuan tersebut menurut Khairul Saleh juga diserahkan bantuan untuk 1.435 guru pondok pesantren, 1.583 guru madrasah ibtidayah, tsanawiyah dan aliyah swasta serta bantuan untuk 187 orang penghulu se-Kabupaten Banjar saat menjelang Lebaran 1428 hijriyah beberapa waktu lalu.

Sehubungan dengan adanya keinginan para pelaku pendidikan agama swasta tersebut tentang bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan ujian nasional Khairul Saleh menyatakan, untuk sekolah agama negeri sudah menjadi tanggung jawab Departemen Agama, sedangkan untuk sekolah agama swasta, akan dianggarkan melalui APBD yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan.

Sementara Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Banjar H. Nabhani Abdullah, mengemukakan saat ini pihaknya masih terkendala untuk membantu Pemerintah dalam mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) 9 tahun, karena masih banyaknya sekolah swasta yang masih menggunakan kurikulum Pondok Pesantren dan tidak menggunakan kurikulum Depag, sehingga tidak dapat mengikuti ujian nasional.

Menanggapi kendala itu, Wakil Bupati Banjar KH. Muhammad Hatim, Lc yang juga turut menerima kunjungan tersebut mengemukakan, untuk merubah atau mengganti kurikulum Pondok Pesantren menjadi Kurikulum Depag memang tidak mungkin, mengingat siswa yang masuk sekolah di madrasah swasta pada sore hari, biasanya juga masuk sekolah di Sekolah Dasar pada pagi harinya, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan.

Lebih jauh Guru Hatim, menjelaskan, setelah meluluskan madrasah swasta biasanya mereka juga meluluskan Sekolah Dasar di kampungnya dan meneruskan ke tingkat yang lebih tinggi pada Pondok Pesantren di ibu kota kabupaten namun tidak menggunakan kurikulum Depag.

Untuk mengatasi kendala Depag dalam mensukseskan wajar dikdas 9 tahun, ia menganjurkan agar para guru-guru pada sekolah swasta, khususnya yang memiliki murid yang tidak berijazah sesuai kurikulum Pemerintah ataupun kurikulum Depag agar menyediakan atau menyelenggarakan kegiatan belajar Paket B dan Paket C guna membantu pemerintah dalam mensukseskan wajar dikdas 9 tahun.

sumber: http://banjarkab.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1039&Itemid=11


Depag Tak Sanggup Berikan Pendidikan Bermutu

Jakarta – Menteri Agama M Maftuh Basyuni mengatakan Departemen Agama (Depag) tidak yakin mampu memberi pelayanan pendidikan yang bermutu. Alasannya anggaran untuk pelaksanaan program pokok pendidikan yang kini diterima sangat kecil.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta mengamini pernyataan Menag. Namun, Bappenas menyesalkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keagamaan (madrasah), karena urusan pendidikan agama bukan lagi melulu beban Departemen Agama.
“Kami di Depag berharap mendapat anggaran yang lebih wajar dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Sesuai dengan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengamanatkan bahwa dana pendidikan dialokasikan sekurangnya 20 persen dari APBN dan APBD di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Kami minta yang wajar,” kata Maftuh Basyuni dalam rapat kerja gabungan Komisi VIII dan X DPR di Jakarta, Senin (10/7). Rapat tersebut juga dihadiri oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo dan Kepala Bappenas Paskah Suzetta.
Karena itu, setidaknya Depag memerlukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,24 triliun untuk membiayai program dan kegiatan mendesak yang belum tertampung dalam APBN 2006. Maftuh juga menjelaskan pihaknya akan membentuk panitia kerja (panja) bersama Mendiknas dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) guna mengatasi adanya diskriminasi dalam anggaran pendidikan anatara departemen pendidikan dan Depag.

Bukan Beban Depag
Pihaknya akan melakukan pembicaraan awal yang intensif dalam waktu dekat. Hal itu terkait dengan alokasi anggaran pendidikan nasional yang 84% masuk ke Depdiknas.
Menag menilai ada diskriminasi anggaran pendidikan terhadap pihaknya. Ihwalnya, 20 persen anggaran pendidikan yang diambil dari APBN, sekitar 84 persen untuk pendidikan nasional dan hanya 16 persen untuk pendidikan agama. Namun, di Depag, anggaran tersebut dibagi menjadi 2, yaitu untuk pendidikan agama dan gaji pegawai. Untuk Diknas, dana itu khusus untuk anggaran pendidikan.
Rendahnya anggaran pendidikan di Depag tersebut disesalkan Kepala Bappenas Paskah Suzetta. Ia juga menyesalkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keagamaan (madrasah). Menurutnya, pendidikan keagamaan tidak lagi menjadi wewenang pemerintah pusat, yakni Departemen Agama.
Menurut Paskah, sekolah umum yang dikelola Depdiknas berbeda dengan sekolah keagamaan yang telah didesentralisasikan dan APBD memiliki kontribusi. Perbedaan juga terjadi dalam hal tunjangan kesejahteraan guru yang bersumber dari APBD.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan saat ini adalah formulasi baru agar daerah bisa memberi kontribusi juga kepada pendidikan keagamaan di daerahnya dan tidak hanya memberatkan pada kebijakan pemerintah pusat.
Sementara itu, Depag mengusulkan anggaran untuk tahun 2007 sebesar Rp 21,4 triliun. Namun, Depag hanya memperoleh pagu sementara sebesar Rp 10,7 triliun untuk membiayai 5 fungsi dan 21 program Depag. Dari pagu sementara itu, anggaran untuk pendidikan agama hanya Rp 3,6 triliun.

sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0607/11/nas06.html

Pendidikan Keagamaan; Politik Pendidikan Penebus Dosa

Nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta.

Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala. “Sekarang negara harus menebus dosa dengan menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan,” kata Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. “Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa,” Maftuh menambahkan.

Awal tahun anggaran ini menjadi momentum penting untuk menguji apakah politik anggaran negara sudah menunjukkan aksi nyata “penebusan dosa”. Perangkat regulasi sebenarnya sudah kian lengkap. Pada penghujung 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55/2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.

Pendidikan keagamaan merupakan wujud orisinal pendidikan berbasis masyarakat di Nusantara. Mereka tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Di lingkungan Islam terdapat pesantren, madrasah, dan diniyah. Di Katolik ada seminari.

Di Hindu ada pasraman dan pesantian. Buddha mengenal pabbajja. Konghucu menyebut shuyuan, dan sebagainya. Tumbuhnya pendidikan keagamaan dalam masyarakat sebagian justru akibat kebijakan negara yang buruk dalam mengelola pendidikan agama.

Pendidikan agama kerap berjasa menampung anak didik yang kurang mampu, sehingga tidak terwadahi di sekolah umum dan negeri. Banyak di antara lulusannya yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah nasional. Jumlah mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.

Di lingkungan pendidikan Islam saja, menurut data Departemen Agama (Depag) tahun 2006, ada 2,67 juta anak didik yang menempuh pendidikan di 14.700 pondok pesantren. Hampir sama dengan jumlah mahasiwa di 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebanyak 2,69 juta orang.

Yang bersekolah di 27.000 sekolah diniyah ada 3,4 juta orang. Setara dengan siswa pada 9.000-an SMA negeri dan swasta se-Indonesia, yang juga berjumlah 3,4 juta.

Peserta pendidikan dasar sembilan tahun di lingkungan madrasah dan diniyah mencapai 6,1 juta murid. Seperenam dari total peserta pendidikan dasar sembilan tahun ada di lingkungan Depdiknas, yang mencapai 36 juta murid.

Sebagian terbesar (lebih 80%) jenjang pendidikan agama di lingkungan Islam, mulai level taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi, adalah swasta. Bahkan, menurut data Depag tahun 2005, sekitar 17.000 raudhatul athfal (TK), 14.700-an pesantren, dan 27.600-an diniyah adalah swasta.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), 90% SD hingga SMA adalah sekolah Katolik dan berstatus swasta. Dari seluruh pendidikan Katolik itu, 60% sehat, 30% sedang, dan 20% hampir sekarat. Sekolah Katolik yang sehat ada di Flores, sedangkan yang sulit berkembang terdapat di Sumba.

“Pada masa Orde Baru, di sini pun sekolah Katolik swasta jadi anak tiri,” kata Ludo Taolin, Wakil Ketua DPRD Belu, NTT. “Padahal, sekolah Katolik banyak berperan mendidik kalangan menengah ke bawah,” katanya. Baru setelah reformasi, menurut Ludo, insentif guru untuk sekolah negeri dan swasta sama. Pemerintah daerah mulai membantu dengan menempatkan guru negeri di sekolah Katolik swasta.

Wajah politik anggaran pemerintah pusat dalam bidang pendidikan berbasis agama dapat dilihat dari anggaran Depag. Tahun 2008 ini, ada peningkatan persentase alokasi untuk “fungsi pendidikan” ketimbang tahun 2007.

Pada 2007, dari total anggaran Depag Rp 14,5 trilyun, alokasi terbesarnya (49,5%) adalah untuk “fungsi pelayanan umum” (Rp 7,2 trilyun). Porsi anggaran pendidikan di Depag pada waktu itu hanya menduduki pos kedua, senilai Rp 6,6 trilyun (46%).

Tahun 2008 ini, di satu sisi, anggaran Depag meningkat 20,9%, menjadi Rp 17,6 trilyun. Di sisi lain, alokasi terbesar bergeser dari fungsi pelayanan umum ke fungsi pendidikan. Gelontoran dana pendidikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu, menjadi Rp 14,3 trilyun (81,4%) –macam-macam alokasinya lebih rinci, lihat tabel.

Tidak hanya di tingkat pusat. Wajah lebih ramah pada pendidikan agama juga ditampilkan sejumlah pemerintah daerah. Namun kebijakan anggaran APBD provinsi dan kabupaten/kota sempat tersandung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma’ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005.

Surat itu oleh sebagian kepala daerah diartikan sebagai larangan alokasi APBD untuk pendidikan keagamaan, karena bidang agama tidak mengalami desentralisasi. Sehingga anggarannya diambilkan dari belanja pemerintah pusat di APBN, bukan dari APBD.

Hal itu, misalnya, dilakukan Kabupaten Aceh Barat. Dana kesejahteraan guru hanya diberikan kepada guru di lingkungan Depdiknas, tidak diberikan pada guru agama di madrasah yang berafiliasi ke Depag. Akibatnya, seluruh guru madrasah se-Aceh Barat sempat melakukan aksi mogok mengajar pada Agustus 2006.

Hingga 2005, sejumlah gedung madrasah di Kabuaten Tangerang, Banten, rusak berat dan tidak segera direhabilitasi. Menurut anggota DPRD Tangerang, Imron Rosadi, kepada koran lokal, itu terjadi karena APBD Kabupaten Tangerang tidak mengalokasikan bantuan. Baru pada 2007 anggaran perbaikan dan pembangunan gedung disediakan APBD.

Efek surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) itu menyulut tuntutan berbagai kalangan agar surat tersebut dicabut. Wakil Ketua DPR pada saat itu, Zaenal Ma’arif, sejumlah anggota DPR, dan Menteri Agama Maftuh Basyuni minta surat edaran itu direvisi karena bisa menghadirkan kembali politik anggaran yang diskriminatif.

Banyak kepala daerah dikabarkan gelisah. Di satu sisi, tak mau salah dalam mengalokasikan anggaran. Di sisi lain, tak ingin berkonfrontasi dengan para elite agama. Pada musim pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini, hal itu bisa berdampak buruk pada popularitas para tokoh politik lokal. Berbagai proses politik, lobi, dan manuver di balik layar pun ditempuh untuk menyetop berlakunya surat Mendagri itu.

Tapi masih ada beberapa pimpinan daerah yang tidak memedulikan “larangan” surat edaran Mendagri itu. Misalnya dilakukan Bupati Pekalongan, Gresik, dan Banyuwangi di Jawa Timur. Di Banyuwangi, surat Mendagri itu hanya sempat jadi pembicaraan singkat, tapi tidak mempengaruhi alokasi anggaran.

Menurut Arifin Salam, anggota DPRD dan Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Banyuwangi, APBD setempat tetap mengalokasikan bantuan pada seluruh siswa pendidikan swasta Rp 20.000 per bulan secara adil. “Sekolah umum dan madrasah punya hak yang sama,” katanya.

Sekolah negeri tidak memperoleh bantuan karena sudah mendapat anggaran operasional dari negara. Tahun 2008, anggaran pendidikan di APBD Banyuwangi mencapai 23%. Bujet buat pendidikan keagamaan semacam pesantren dan semua lembaga pendidikan agama di luar Islam meningkat pesat.

Bila tahun 2005 hanya Rp 3 milyar, tahun 2008 ini mencapai Rp 18 milyar. Sampai-sampai, anggaran dinas lain, seperti peternakan, dikurangi. “Komitmen kami pada pendidikan agama sangat kuat,” ujar Arifin.

Di Langkat, Sumatera Utara, bantuan APBD juga tetap lancar, tak terganggu oleh polemik surat edaran Mendagri. Ustad Muhammad Nuh, pimpinan Pesantren Al-Uswah, Langkat, pada 2007 masih mendapat bantuan dari APBD Sumatera Utara dan APBD Langkat. Namun sifatnya bantuan insidental, tidak tetap. Setahu Nuh, pesantren lain juga masih mendapat bantuan APBD.

Bagi Hidayatullah, anggota Komisi C DPRD Sumatera Utara, kalaupun surat Mendagri itu betul-betul melarang karena kendala ketentuan desentralisasi, semestinya pemerintah daerah tidak kehabisan akal untuk membantu pendidikan keagamaan. Yang penting, ada kemauan politik. Sebab bantuan untuk pendidikan keagamaan masih bisa disalurkan lewat pos bantuan sosial. Hanya, kelemahannya, bantuan tersebut tak bisa rutin dikucurkan.

Sebagian daerah lain meresponsnya dengan membentuk peraturan daerah (perda) tentang madrasah diniyah. Misalnya Banjar, Indramayu, Cirebon, Pandeglang, dan diperjuangkan beberapa daerah lain, seperti Tangerang dan Majalengka. Dengan perda diniyah itu, APBD berkewajiban mengalokasikan anggaran tetap. Apa pun bunyi surat Mendagri tidak berpengaruh.

Lima bulan setelah surat edaran Mendagri beredar, pada Februari 2006 Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah Depdagri, Daeng M. Nazier, membuat surat klarifikasi bertajuk “Dukungan Dana APBD”. Surat yang ditujukan ke gubernur, bupati, wali kota, serta ketua DPRD provinsi dan kabupaten itu menegaskan, “… sekolah yang dikelola oleh masyarakat, termasuk yang berbasis keagamaan seperti madrasah,… dapat didanai melalui APBD sepanjang pendanaan yang bersumber dari APBN belum memadai.”

Daeng M. Nazier juga membuat klarifikasi lewat keterangan pers. “Akhir-akhir ini berkembang penafsiran yang salah terhadap isi surat edaran Menteri Dalam Negeri,” katanya. “Seolah-olah Menteri Dalam Negeri melarang/tidak memperbolehkan dana APBD digunakan untuk mendanai program/kegiatan sekolah-sekolah berbasis keagamaan.”

Nazier menyinggung adanya daerah yang menyetop pendanaan dari APBD untuk kegiatan madrasah ibtidaiyah, tsanawiah, dan aliyah, dengan alasan urusan agama tidak diserahkan kepada Daerah. Padahal, konteksnya berbeda. “Yang tidak menjadi urusan daerah adalah urusan keagamaan, sedangkan urusan pendidikan sudah menjadi urusan wajib pemerintahan daerah.”

Ditegaskan pula, “Seharusnya pemerintah daerah tetap memberikan alokasi dana APBD yang seimbang kepada sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan.” Sehingga tidak menimbulkan keresahan dan menjaga keberlangsungan proses belajar-mengajar di tiap-tiap daerah.

Surat itu segera diimplementasikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk meredam aksi mogok para guru madrasah. Namun disinyalir banyak daerah lain tidak mau merujuknya, karena surat itu hanya ditandatangani direktur jenderal. Perlu ada ralat langsung dari Mendagri. Tarik-menarik di balik layar pun masih berlangsung kencang.

Maka, pada Juni 2007, Mendagri ad interim Widodo AS (karena Moh. Ma’ruf sakit) membuat Peraturan Mendagri Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2008. Peraturan ini menekankan dilarangnya diskriminasi dalam alokasi anggaran: “Dalam mengalokasikan belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan.”

Empat bulan kemudian, Oktober 2007, lahir PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan tadi. “Dasar hukum dukungan APBD pada pendidikan keagamaan, seperti pesantren dan diniyah, sebenarnya sudah sangat kuat,” kata Amin Haedari, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag.

Namun Amin mengaku masih saja ada daerah yang bertanya, minta kepastian, tentang boleh tidaknya APBD membiayai sekolah agama. “Baru-baru ini, ada DPRD dari Bangka Belitung yang juga bertanya,” kata birokrat yang banyak membuat terobosan pemberdayaan pesantren itu. Pasca-keluarnya PP itu, semestinya politik anggaran untuk pendidikan keagamaan lebih mulus berjalan.

Tapi mantan Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR, Masduki Baidlowi, menilai diskriminasi anggaran daerah sampai saat ini masih berlangsung. Diskriminasi itu bukan hanya dalam bentuk tidak dialokasikannya anggaran sama sekali. Ada yang memberi alokasi tapi dengan jumlah yang tidak sebanding dengan pendidikan umum. “Itu juga diskriminasi,” katanya.

Masduki menyebut kasus tunjangan guru di DKI Jakarta. Guru di lingkungan Depdiknas mendapat tunjangan Rp 2,5 juta sebulan. Tapi guru madrasah hanya memperoleh Rp 500.000. “Semestinya justru dilakukan kebijakan afirmatif. Perbandingannya, tiga buat madrasah, dua buat sekolah umum,” katanya. “Karena dari awal posisi sarana-prasarana madrasah sudah tertinggal jauh.”

Seretnya alokasi anggaran buat pendidikan keagamaan di tingkat dearah mendorong perencana anggaran tingkat pusat lebih meningkatkan pasokan anggaran. Gelontoran anggaran yang paling besar sejak akhir 2007 adalah diberikannya tunjangan untuk 501.000 guru non-PNS yang mengajar di semua jenjang sekolah agama Islam. Mulai tingkat RA sampai aliyah. Tiap bulan, per orang memperoleh Rp 200.000. Total dalam setahun Rp 1,2 trilyun.

“Ini sudah menjadi tunjangan tetap tiap tahun,” ujar Achmad Djunaidi, Kepala Biro Perencanaan Depag. “Karena banyak guru swasta di madrasah yang sudah mengajar belasan tahun tapi dengan imbalan di bawah Rp 100.000 sebulan.” Tidak mudah, katanya, mengupayakan golnya alokasi tunjangan ini.

Namun, seberat-beratnya memperjuangkan anggaran, menurut Djunaidi, ada hal lanjutan yang jauh lebih penting dan berat. “Yaitu memastikan bantuan pendidikan itu tepat sasaran,” katanya. “Semua orang tahu, birokrasi kita masih korup.” Alokasi dana buat murid dan guru harus betul sampai di tangan mereka. “Jangan sampai mengendap di kantong ketua yayasan atau kepala sekolah,” ujarnya.


sumber: http://apit.wordpress.com/2008/02/01/pendidikan-keagamaan-politik-pendidikan-penebus-dosa/

Pemerintah Harus Lebih Perhatikan Pendidikan Informal

Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.”Padahal sesungguhnya ada yang istimewa dalam program informal dan non formal ini, yaitu daya jangkaunya yang mampu menjangkau segala umur, tidak terikat status pernikahan, dan bisa menjangkau wilayah terpencil”, demikian Yusup Haryanto, SPd, koordinator PKBM Tunas Melati, Pemuda Muhammadiyah kabupaten Bogor kepada muhammadiyah.or.id, selasa (1/04/2008).

Menurut Yusup, setelah ada program BOS, sebenarnya masyarakat sudah banyak terbantu, khususnya untuk biaya SPP. Namun menurutnya, di lapangan ternyata biaya transport peserta didik ke sekolah masih banyak yang memberatkan orang tua siswa, terutama siswa dari daerah terpencil. “ Inilah kelemahan konsep Sekolah Terbuka” yang masih mengharuskan siswa berangkat dari rumah ke sekolah tertentu. Belum lagi masalah dengan status perkawinan, dimana sekolah formal tidak memungkinkan seorang siswa sudah menikah ikut bersekolah.

Dengan pertimbangan itulah, menurut Yusup, pogram PKMB Tunas Melati yang pada awalnya merupakan hasil MOU PP Pemuda Muhammadiyah dan Dirjen Pendidikan Informal dan Non Formal saat ini menjadi solusi yang cukup menarik bagi warga belajar di daerah kabupaten Bogor. Program yang difasilitasi dengan Kelas Berjalan, berupa Bis ini bisa menjangkau pelosok dan masyarakat miskin dengan mudah. “ Karena program ini geratis dan kami mendatangi mereka” cerita Yusup.

Saat ini, PKBM Tunas Melati mengelola tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu kecamatan Nanggung, Pamijahan, Jasinga, Leuwiliang, Cibubulang, Sukajaya, Darmaga dan Tamansari. Kesemuanya dikelompokkan pada 28 Kelompok belajar yang masing-masing kelompok berkisar antara 80 hingga 100 warga belajar, dengan dipandu tujuh hingga delapan tutor. Pogram yang baru berjalan setahun ini, saat ini sudah meluluekan 700 warga belajar dari paket A, B, dan C selain program pemberantasan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional, program Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus Masuk Desa dan Beasiswa Belajar.

Keberlanjutan dan Pengembangan Program

Menurut Yusup, program yang sedang berjalan ini masih belum pasti apakah masih akan mendapat support dana dari Depdiknas untuk kelanjutan programnya, namun karena melihat manfaat program yang besar serta sambutan masyarakat yang besar, dengan ada tidaknya bantuan dari pemeintah segenap pengelola dan keluarga besar Muhammadiyah Kabupaten Bogor bertekad untuk meneruskan program ini.

Yusup mengakui, selama ini masalah yang dihadapi adalah kecilnya honor tutor yang saat ini berjumlah seratus orang. Karen a itu, selain berharap bahwa ke depan masih akan ada pihak-pihak yang mau bekerjasama membiayai program strategis ini, juga perlu diperhatikan bagaimana menaikkan kesejahteraan para tutor yang diambil dari keluarga besar Angkatan Muda Muhammadiyah Kabupaten Bogor sendiri.

Saat ini, PKBM Tunas Melati bertempat di kompleks amal usaha Muhammadiyah Kabupaten Bogor, Jl Raya Leuwiliang No. 106, Bogor. Telp. 0251 47619. Di kompleks tersebut berdiri TK ABA, MI Muhammadiyah, Mu’alimim Muhammadiyah (Mts dan MA), BMT, Poskestren, Panti Asuhan Yatim dan Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Bogor.

sumber: http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1032&Itemid=2

Minggu, 15 Maret 2009

Menakertrans: "Pendidikan Informal Tak Tersentuh, Anggaran 20 Persen Timpang"

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal.

"Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8).

Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya.

Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.

Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya.

sumber: http://www.indonesiaontime.com/humaniora/pendidikan/17-pendidikan/5833-menakertrans-pendidikan-informal-tak-tersentuh-anggaran-20-persen-timpang.html

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131.

sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0412/21/nas04.html

PAUD AWAL KUALITAS ANAK MENYONGSONG MASA DEPAN.

Pada Undang-Undang Khusus yang mengatur tentang anak yaitu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 53 ayat (1): Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak telantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.

Implikasi undang-undang itu adalah anak dari keluarga tidak mampu akan mendapatkan biaya pendidikan secara cuma-cuma dari pemerintah. Permasalahannya, bagaimana pemerintah menyosialisasikan dan membuat masyarakat mudah mengaksesnya.

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sedang digalakkan di berbagai tempat di wilayah Indonesia. Pendidikan anak memang harus dimulai sejak dini, agar anak bisa mengembangkan potensinya secara optimal. Anak-anak yang mengikuti PAUD menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal.

Itulah yang saya alami sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah atau sekolah yang setara dengan sekolah dasar di ujung UTara Kabupaten Magelang karena kebetulan saya mengampu kelas satu.Siswa yang sebelumnya memperoleh PAUD akan sangat berbeda dengan siswa yang sama sekali tidak tersentuh PAUD baik informal maupun nonformal. Ibarat jalan masuk menuju pendidikan dasar, PAUD memuluskan jalan itu sehingga anak menjadi lebih mandiri, lebih disiplin, dan lebih mudah mengembangkan kecerdasan majemuk anak.

Fenomena yang terjadi di Kabupaten Magelang mulai tahun ajaran baru 2007-2008 pemerintah memperbolehkan anak masuk SD tanpa melalui TK. Anjuran tersebut harus dipertimbangkan lagi jika pemerintah ingin menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Dari hasil observasi di beberapa MI dan SD, tingkat drop out siswa SD yang tidak melalui TK lebih tinggi daripada siswa yang melalui TK. Pemerintah harus memikirkan akibat yang ditimbulkan. Kesenjangan pasti terjadi.

Pemerintah harus lebih tanggap pada fenomena tersebut, karena dengan memperbolehkan anak masuk SD tanpa melalui TK berarti telah mengabaikan suatu pendidikan di usia dini yang paling dasar bagi anak. Konsep bermain sambil belajar serta belajar sambil bermain pada PAUD merupakan pondasi yang mengarahkan anak pada pengembangan kemampuan yang lebih beragam. Kebijakan pemerintah kabupaten akan ikut menentukan nasib anak serta kualitas anak di masa depan.

Masa depan yang berkualitas tidak datang dengan tiba-tiba, oleh karena itu lewat PAUD kita pasang pondasi yang kuat agar di kemudian hari anak bisa berdiri kokoh dan menjadi sosok manusia yang berkualitas.

Di samping pemerintah, masyarakat adalah komunitas yang sangat berperan untuk mengembangkan PAUD. Jika kendalanya masalah biaya, masyarakat dalam hal ini lembaga penyelenggara PAUD bisa menyiasatinya dengan mereduksi biaya melalui kreativitas membuat alat peraga sendiri, menghilangkan kewajiban seragam, serta memenuhi gizi anak-anak PAUD melalui program pemerintah.

Alternatif lain PAUD bisa diselenggarakan oleh kelompok perempuan di masyarakat, dengan membekali diri melalui pelatihan PAUD (banyak organisasi/LSM yang bersedia mmeberikan pelatihan cuma-cuma). Mereka bisa bergantian menjadi pendamping anak-anak pada PAUD. Tentu saja untuk menerapkan ide ini diperlukan inisiasi pemerintah untuk menyosialisasikan serta memberdayakan masyarakat terutama di daerah terpencil.

PAUD nonformal khusus seperti Taman Pendidikan Alquran juga bisa diintegrasikan dengan PAUD umum yang bertujuan mengoptimalkan pengembangan kecerdasan majemuk anak.

Kita bisa memulainya dari mana saja terutama dari diri kita masing-masing. Berikanlah yang terbaik buat anak untuk menyongsong masa depannya, masa depan anak Indonesia yang cemerlang.

Sumber: http://warnadunia.com/artikel-pendidikan-paud-menyongsong-kualitas-anak-masa-depan/

Membina Etika Si Buah Hati Demi Kejayaan Bangsa

Salah satu kebijakan pemerintah disektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sehingga anak-anak Indonesia tidak hanya mengenal pendidikan saat masuk sekolah dasar atau bahkan Taman Kanak-kanak, karena dari hasil penelitian dinyatakan bahwa perkembangan seorang anak akan sangat berpengaruh pada usia sekitar 4 tahun. Oleh karena itu pembinaan yang lebih dari sekedar pembinaan oleh orangtua di rumah tangga harus mendapat perhatian yang serius. Pembinaan yang dimaksud dapat di berikan pada institusi Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD, sebagaimana tertulis pada pasal 28 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. PAUD berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.

Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Keberagaman PAUD dari jalur dan jenis satuan pendidikannya merupakan suatu bentuk kemudahan dalam memilih alternatif pembinaan anak di bawah lima tahun. Sebagai orangtua tentu memerlukan pertimbangan-pertimbangan dalam "menyerahkan" anaknya yang masih balita pada suatu institusi pendidikan khusus. Oleh karena itu, suatu hal yang wajar jika orangtua justru tidak memilih PAUD Formal seperti TK atau RA, tetapi justru lebih memilih PAUD Non Formal dan In Formal. Hal ini bukan berarti bahwa salah satu jalur PAUD lebih baik dari jalur PAUD yang lainnya. Kebebasan dalam memilih tempat pembimbingan seorang anak, ada di tangan orangtuanya.

Namun, yang menjadi kendala saat ini adalah bahwa masyarakat kita masih banyak yang kurang memahami arti penting dari PAUD itu sendiri. Selain itu juga didukung oleh belum adanya aturan yang menjadikan PAUD sebagai suatu tingkatan pendidikan yang harus ditempuh sebelum masuk Sekolah Dasar atau Taman Kanak-kanak. Selain itu, meskipun penyelenggaraan PAUD telah dapat dikatakan banyak dan tersebar, namun masih terkesan penyelenggaraan jalur PAUD yang lebih dominan adalah jalur formal yakni TK dan RA. Hal ini bukan tanpa alasan, tetapi lebih dikarenakan kondisi masyarakat kita yang belum memahami sepenuhnya akan PAUD non formal dan in formal tersebut. Menurut Direktur PAUD bahwa pada akhir tahun 2007 jumlah anak yang terlayani PAUD sebanyak 28 juta atau 48 persen. Dia menargetkan, pada 2009 minimal 53,9 persen anak usia 0-6 tahun terlayani PAUD

PAUD Non Formal dan In Formal Hubungannya dengan Pembentukan Etika Anak

Penyelenggaraan PAUD tentu akan semakin berkembang jika didukung oleh semua pihak. Pemberdayaan serta dukungan masyarakat sangat diandalkan untuk mengembangkan PAUD. Kesadaran masyarakat akan pentingnya PAUD menjadikan masyarakat itu sendiri yang merasa membutuhkan keberadaan program PAUD. Sebenarnya, jika kita menghubungkan dengan pembinaan seorang anak termasuk etikanya, maka PAUD seharusnya diterapkan pada anak sejak ia lahir atau pada saat usia 0 (nol) tahun. Kita ketahui bahwa ketika anak lahir ia telah dibekali oleh berbagai potensi genetis, lingkunganlah yang memberi peran besar dalam pembentukan sikap, kepribadian, dan pengembangan kemampuan anak. Dahulu, pola seperti ini belum terpikirkan, namun kini PAUD harus diterapkan bukan hanya sebelum masuk SD tetapi juga sebelum masuk Taman Kanak-kanak (TK).

Penyelenggaraan PAUD oleh keluarga atau masyarakat akan semakin mendekatkankan orangtua kepada pembinaan si buah hati yang lebih efektif dan efisien, terutama unsur etika anak. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, keberadaan PAUD Non Formal dan In Formal akan semakin memberi nuansa kedekatan orangtua terhadap anak secara psikologis. Kelompok bermain atau taman penitipan anak sebagai salah satu contoh PAUD Non Formal dan Pendidikan Keluarga atau Lingkungan sebagai contoh PAUD In Formal, tentu merupakan sarana untuk membentuk etika pada anak sejak dini. Keteladanan yang diperlihatkan oleh orangtua sendiri atau pendidik PAUD yang juga merupakan orangtua (ibu) yang dipercaya mampu dan kapabel dalam mendidik anak-anak usia 0-6 tahun.

Tentu proses pembelajaran di PAUD Formal seperti Taman Kanak-kanak juga berbeda dengan PAUD Non Formal dan In Formal. TK lebih mengesankan "aturan-aturan" formal telah dijalankan seperti layaknya sekolah. Ada papan tulis yang terletak di depan ruangan kelas, ada bangku dan meja "murid" yang berjejer rapi, seragam, serta hal-hal formal layaknya di sekolah. Di Play Group dan Pendidikan Keluarga sebagai contoh PAUD Non Formal dan In Formal lebih memberikan aktifitas yang leluasa kepada anak seperti layaknya di rumah atau di lingkungan sendiri. Hal ini tentu dapat dikatakan sebagai nilai tambah PAUD Non Formal dan In Formal karena kesan anak, mereka tidak sedang bersekolah yang terkesan menjenuhkan tetapi mendapat tempat bermain secara lebih leluasa. Namun demikian tentu saja dalam sistem yang telah terprogram secermat mungkin terutama dalam hal peningkatan potensi anak termasuk bimbingan etikanya.

Jalinan hubungan antara anak satu dengan yang lainnya pada saat bermain atau beraktifitas akan menciptakan suasana-suasana yang berbeda. Pada kesempatan inilah pendidik (orangtua) memberikan masukan-masukan nilai-nilai etika pada anak. Bagaimana jika seorang anak memanggil temannya dengan sebutan yang kurang baik? Bagaimana jika seorang anak berkelahi dengan yang lain? Bagaimana jika anak meminjam mainan temannya? Bagaimana jika anak akan keluar ruangan? Bagaimana jika berbicara dengan guru atau orangtua? Bagaimana makan yang baik atau buang air? Kesemuanya itu merupakan sebagian kecil contoh kejadian atau suasana yang dapat dijadikan sarana membentuk etika anak. Tidak perlu mengumpulkan anak dan berceramah di depan mereka tentang prilaku yang baik dan tidak baik.

Hal sedemikian dipercaya kurang efektif bagi anak usia 0-6 tahun yang lebih sarat aktifitas bermainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembinaan di PAUD Non Formal dan In Formal seperti layaknya di rumah sendiri yang sarat akan aktifitas-aktifitas keseharian seorang anak. Sebagai "pembeda" adalah pembimbing atau guru atau orangtua telah profesional dalam membimbing anak terutama etika. Pembentukan etika anak tentu menjadi prioritas sedini mungkin pada suasana atau kondisi yang sederhana terlebih dahulu, baru pada situasi yang kompleks. Jika seorang anak mampu untuk memperlihatkan prilaku yang beretika dalam melakukan aktifitas kesehariannya, maka dapat diyakini mereka akan mampu untuk berprilaku baik jika bersekolah di TK atau masuk SD.

Jiwa-jiwa yang lahir dan dibina dengan etika yang baik akan berdampak luas terhadap perkembangan potensi diri mereka. Anak-anak kita yang telah di bina etikanya di PAUD Non Formal dan In Formal akan mudah untuk mengembangkan diri selanjutnya. Prilaku atau etika yang normatif pada diri anak-anak kita akan menjadikan mereka mudah untuk memilih dan memilah suatu aktifitas positif atau negatif. "Penanaman bibit" etika saat dibina di PAUD Non Formal dan In Formal (utamanya usia 4 tahun) akan tumbuh berkembang pada usia selanjutnya. Kita sebagai orangtua akan merasa mudah dalam mengarahkan anak-anak kita tadi untuk terus memajukan dirinya. Etika yang baik pada anak-anak kita, akan menjadikan orangtua berfungsi sebagai Tut Wuri Handayani. Bangsa Indonesia akan berkembang pesat jika generasi-generasi penerus bangsa ini memiliki etika yang baik, karena dengan etika yang baik serta terpuji akan memudahkan si buah hati kita untuk terus belajar dan memajukan bangsa ini dan bersaing dengan bangsa-bangsa di dunia dan mencapai kejayaan bangsa.

Sumber: http://re-searchengines.com/0508syukur.html

Perbanyak Sekolah Informal

Kebijakan tentang ditambahnya peluang pendidikan informal memang tengah gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pemerintah. Jika saja kita mampu mengapresiasi kebijakan itu secara positif, maka tak harus ada lagi istilah putus sekolah karena kekurangan biaya, tak punya baju seragam, gedung sekolahnya jauh di gunung atau mungkin nyaris roboh. Sekolah informal bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan.Pendidikan bukanlah monopoli sekolah formal. Terlebih jika terkait dengan “masa depan” finansial, hubungan antara pendidikan formal dan pekerjaan seringkali tak beriringan. Semuanya sangat tergantung pada kemauan belajar, kerja keras, dan adaptasi anak-anak terhadap perkembangan zaman.

Seorang petani lulusan sekolah dasar, karena kegigihannya bisa hidup berkecukupan hanya dengan menanam sayuran, TAPI sarjana yang sudah dua tahun lebih lulus dari perguruan tinggi, karena tak punya skill yang memadai untuk memasuki pasar kerja atau mungkin terlalu pilih-pilih pekerjaan, bisa jadi masih saja jadi pengangguran. Semua sangat relatif jika ukurannya adalah kesuksesan masa depan finansial.

Sayangnya, sekolah informal selama ini sering dianggap sebagai sekolah kelas 3 setelah pendidikan formal dan non formal. Sekolah informal lebih berkesan sebagai pilihan paling akhir dari model pendidikan yang ada, yaitu hanya ditujukan bagi mereka yang putus sekolah, ekonomi lemah, kecerdasan rendah, berkebutuhan khusus, dan hal-hal yang marginal lainnya.

Sesungguhnya, sekolah informal bisa berperan lebih dari sekedar alternatif dari pendidikan formal. Namun patut diakui, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penyelenggaranya. Sekolah informal bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya kreativitas endidikan yang selama ini terlalu dikerangkeng oleh aturan-aturan yang kaku. Sekolah informal bisa menjadi wadah untuk melihat pelajaran dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih heterogen, dan juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.

Kalau di sekolah formal tumbuhan hanya dipandang sebatas makhluk hidup yang tidak bergerak, memiliki daun, batang, dan akar, maka di sekolah informal seorang pendidik bisa membawa anak-anak pada realitas tumbuhan yang sebenarnya, yang fungsinya bagi kehidupan begitu substansial, sehingga memelihara dan membudidayakannya menjadi sebuah kebutuhan bersama, sehingga menyemai biji dan kemudian menanamnya menjadi pekerjaan lanjutan yang mengasyikkan dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu.

Sekolah informal. Semoga siapapun yang peduli, tertarik, dan merasa memiliki kemampuan akan tetap bersemangat untuk menumbuhkannya di wilayah-wilayah terdekat. Hal itu insya Allah akan menjadi amal sholeh tiada terputus yang bisa kita berikan dalam kehidupan ini.

Tantangan dan Tren Pendidikan Tinggi

Institusi pendidikan tinggi (universitas) tidak steril dari tuntutan dan perkembangan zaman. Kemampuan menyikapi tantangan dan tren yang dibawa oleh zaman akan sangat menentukan apakah sebuah universitas dapat tetap kompetitif atau kehilangan pasar. Tantangan dan tren inilah yang memaksa dan mengharuskan universitas untuk menerapkan logika korporasi, dengan mengedepankan prinsip-prinsip efisiensi pembiayaan, memperhitungkan setiap risiko (calculability), dan kemampuan untuk memprediksi tantangan dan tren ke depan (predictability). Dalam bahasa Kezar (2000), peran seorang rektor akan semakin menyerupai manajer perusahaan, dan manajemen universitas makin menitikberatkan pada akuntabilitas. Salah satu dampak dari perubahan ini adalah bergesernya fokus pendidikan dari sasaran utamanya, yaitu mahasiswa. Tuntutan masyarakat akan kualitas pendidikan tinggi yang bermutu dan murah pasti akan menyulitkan universitas dalam mendesain, baik program maupun kepastian lulusannya agar dapat diterima pasar kerja (Kovel-Jarboe, 2000).

Setiap universitas dapat dipastikan memiliki problem sosialnya sendiri. Pada saat bersamaan, dalam setiap masyarakat juga memiliki masalah dan isu-isu yang berkaitan dengan dunia universitas. Strategi yang mungkin akurat untuk mengatasi masalah-masalah tersebut sangat bergantung pada kondisi struktur dan kepemimpinan di tingkat lokal dan latar belakang kesejarahan masyarakat itu sendiri. Segenap potensi sumber daya universitas seyogianya digunakan untuk memperbarui, memvalidasi, dan memperluas wilayah keilmuan yang bersifat humanis dengan menggunakan metode-metode pengetahuan standar. Metode pengetahuan tentu saja hanya dapat ditransmisi dalam suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan terbuka sebagai bentuk way of life. Pentingnya budaya demokratis yang bertanggung jawab di universitas adalah tuntutan lain dari kebutuhan dan perkembangan psikososial mahasiswa kita yang semakin sensitif terhadap semua jenis isu sosial dan politik (Dickinson, 1991).

Otonomi dan tren pendidikan tinggi

Isu otonomi pendidikan sebenarnya sudah dimulai di Indonesia sejak masa Presiden Habibie. Meskipun isu otonomi dan kebebasan akademis dalam beberapa hal sangat kontroversial, dalam batas tertentu kita harus menganggapnya sebagai kebutuhan yang bisa fleksibel. Otonomi adalah hak bagi setiap institusi untuk memutuskan apa yang baik bagi sebuah institusi tanpa ada gangguan dari pihak luar. Konsep ini jelas datang dari semangat kebebasan akademis, ketika hak-hak akademis individu untuk mengekspresikan opini mereka terjamin.

Di dalam Magna Carta of European Universities yang ditandatangani pada 1988 oleh para rektor dari Universitas terbaik se-Eropa dikatakan bahwa universitas merupakan lembaga yang otonom di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam, baik secara geografis maupun budaya. Universitas adalah produsen utama hampir seluruh produk sosial, politik, dan budaya yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, keseluruhan proses belajar mengajar di universitas secara moral dan intelektual haruslah independen dan terlepas dari semua kepentingan politik dan kekuasaan. Kebebasan dalam menjalankan proses belajar mengajar dan melakukan riset secara terbuka merupakan pilihan strategis dan fundamental bagi universitas dalam rangka menjaga independensinya di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, universitas harus secara konsisten dan konsekuen menjaga prinsip-prinsip otonomi seperti: (1) Hak untuk mempekerjakan dan memecat staf akademis yang melanggar etika dan tidak dapat mengembangkan kapasitas akademisnya, (2) hak untuk memutuskan apa dan bagaimana proses belajar mengajar harus dijalankan, (3) hak untuk menyeleksi mahasiswa dan mengevaluasi performance mereka secara mandiri dan bertanggung jawab, serta (4) hak untuk memilih topik-topik riset yang mereka inginkan tanpa harus takut akan intervensi pihak luar.

Di samping soal otonomi, beberapa isu penting soal bagaimana seharusnya sebuah universitas merespons perkembangan sosial budaya masyarakat juga harus diperhatikan. Isu tentang strategi kolaborasi yang harus dijalankan oleh universitas, strategi pendanaan, dan pentingnya memikirkan segmentasi yang bersinergi dengan bursa kerja merupakan keharusan yang perlu dipikirkan, direncanakan, dan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (Zusman, 1999).

Dalam rangka menarik minat pasar, pendidikan tinggi di Indonesia, mau tidak mau dan suka atau tidak suka, harus membuka program-program pelatihan, sertifikasi, serta kuliah jarak jauh yang dikelola dengan logika kolaboratif, yaitu ketersambungan dunia bisnis dan pendidikan. Networking atau jejaring adalah kata kunci yang harus dikembangkan secara terus-menerus oleh setiap universitas dalam rangka mencari pola partnership yang tepat antara universitas dan lembaga keuangan (bisnis, entertainer) dan lembaga riset. Selain itu, universitas diharapkan juga jeli dalam menjalin kolaborasi dengan sekolah menengah umum tertentu sebagai basis input-nya dan universitas lain terutama dalam rangka pemanfaatan sumber daya dan teknologi. Jika strategi kolaborasi ini berjalan, perencanaan pendidikan menjadi lebih mudah disosialisasikan ke tingkat masyarakat. Dengan demikian, pembukaan program-program baru yang berorientasi pada pasar atau kebutuhan masyarakat perlu dijajaki.

Selain itu, dalam menjalankan strategi pendanaannya, lembaga pendidikan tinggi juga harus memperhatikan daya beli masyarakat. Karena itu, riset tentang pembelanjaan dana publik di sektor pendidikan harus dilakukan. Belajar dari tren yang berkembang di Amerika Serikat, skema distribusi dana pendidikan diubah dari 'subsidi' menjadi 'pinjaman'. Perubahan ini sudah barang tentu merugikan masyarakat kurang mampu, yang enggan terbebani utang. Meski demikian, permintaan pinjaman mahasiswa meningkat secara signifikan, yang jumlahnya naik dari setengah menjadi tiga perempat dana pinjaman dalam anggaran pemerintah pusat. Adapun di tingkat negara bagian, alokasi anggaran pendidikan menunjukkan peningkatan. Sumbangan korporasi untuk universitas pun meningkat. Di samping itu, semakin banyak negara bagian yang mengikuti jejak California mengenalkan skema pinjaman yang lunak (Kovel-Jarboe, P 2000).

Strategi dan skema pendanaan yang berlaku saat ini di Amerika Serikat boleh jadi dapat menginspirasi lembaga pendidikan tinggi kita untuk melakukan kerja sama dengan perbankan dan pemerintah daerah dalam menggalang dana publik masuk ke sektor pendidikan tinggi. Ke depan, diharapkan ada riset mendalam yang secara spesifik melihat kemungkinan strategi pendanaan seperti ini bagi para mahasiswa kita di Indonesia.

Strategi ketiga adalah bagaimana lembaga pendidikan memetakan kemampuannya dalam melihat segmentasi pasar. Harus kita sadari bahwa 'peta sosial' universitas senantiasa berubah, baik dalam hal komposisi umur dan jenis kelamin, serta konfigurasi mayoritas-minoritas. Hal yang penting diperhatikan adalah meningkatnya jumlah 'mahasiswa dewasa'. Ketika perusahaan mengurangi program-program pelatihan, karyawan berpaling pada institusi akademis. Universitas-universitas dan lembaga pendidikan tinggi yang tanggap akan kebutuhan ini, yaitu yang mampu menjanjikan peningkatan kemampuan akademis dan keahlian khusus, baik melalui kelas reguler maupun kelas jarak jauh, menjadi lebih kompetitif.

Dengan kesadaran tentang the new student map, sesungguhnya kita menginginkan agar universitas di Indonesia dapat berperan lebih aktif dalam melihat kebutuhan tenaga profesional di segala bidang dengan kebutuhan dunia birokrasi dan usaha. Para pekerja yang ingin memperoleh ilmu dan meningkatkan profesionalitas mereka perlu diakomodasi oleh lembaga pendidikan seperti universitas dengan membuka program-program yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan secara bertanggung jawab.

Kesadaran tentang paradigma instruksional lembaga pendidikan kita juga tampaknya perlu digeser menjadi paradigma pembelajaran yang mengedepankan keberagaman model belajar dan multiple intelligences. Pada titik ini, peran dosen dan tenaga pengajar lainnya menjadi sangat penting. Karena itu, dosen dan tenaga akademis di setiap lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk memiliki kemampuan, pengetahuan, dan keahlian dalam memutuskan bagaimana dapat membantu mahasiswa belajar secara maksimal. Perubahan paradigma pembelajaran ini juga membawa konsekuensi logis kepada universitas untuk melakukan program-program penyegaran dan pelatihan yang dapat memacu kreativitas pembelajaran (Kezar, 2000).

Sumber: http://beritapendidikan.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=20&artid=708

Pendidikan Luar Sekolah

Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :

1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;

2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;

3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;

4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);

5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan

6. Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di.

Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :

1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;

2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;

3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;

4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta

5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.

Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :

1. Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
2. Pembinaan kelembagaan PLS;
3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS

Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.

Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri..

Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .

Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan.

Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.

PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah.

sumber: http://warnadunia.com/pendidikan-luar-sekolahartikel/