Sabtu, 28 Februari 2009

Pendidikan Menengah : Pemerintah Alokasikan Rp 500 Miliar Untuk Perbanyak SMK

Pemerintah mengalokasikan dana total Rp 500 miliar untuk membantu pemerintah daerah memperbanyak pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di berbagai daerah, khususnya SMK yang bertaraf internasional.

"Depdiknas siap membantu melakukan studi kelayakan bagi Pemda yang berniat untuk mengubah SMA menjadi SMK serta mengembangkan SMK-SMK baru sesuai dengan target pemerintah hingga 209 nanti," kata Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdiknas, Suyanto pada jumpa pers di sela-sela acara Rembug Nasional Pendidikan 2006 di Sawangan, Bogor, Jumat (21/4).

Ia menyatakan, keinginan sejumlah daerah untuk mengubah SMA menjadi SMK sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk memperbanyak sekolah menengah kejuruan (SMK) dan mengurangi sekolah menengah atas (SMA). Depdiknas mengharapkan perbandingan SMK dan SMA 70:30 pada 2009.

Saat ini, rasio SMK dengan SMA masih 30:70. Target pada 2008 menjadi 40:60 dan pada 2009 rasio perbandingan SMK dengan SMA menjadi 70:30.

Sedangkan, selisih siswa SMA dengan SMK saat ini sebanyak dua juta orang. Secara perlahan-lahan dengan analisis yang tepat peralihan sekolah itu akan dilakukan, katanya.

Dirjen mengatakan untuk membuat SMK yang bermutu dan bertaraf internasional serta lulusannya bisa diandalkan di pasar kerja membutuhkan Rp 22 miliar untuk satu sekolah. SMK untuk bisa disebut bertaraf internasional minimal harus membangun fasilitas seperti laboratorium, juga memiliki jaringan kerja perusahaan di luar negeri.

Tujuan untuk terus memperbanyak SMK, menurut Suyanto, karena lulusan SMK lebih mudah masuk ke aspar kerja ketimbang lulusan SMA karena umumnya mata pelajaran di SMK sudah disertai dengan praktik keterampilan.

Siswa SMA yang tidak bekerja atau tidak melanjutkan ke perguruan tinggi menyumbang jumlah pengangguran yang saat ini jumlahnya mencapai 40 juta orang. Harapannya dengan diubah dari SMA ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) supaya mereka bisa bekerja pada orang lain atau membuka lapangan kerja sendiri.

"Memperbanyak SMK itu relevan sekali. Sebab, lulusan SMA memberikan sumbangan yang besar terhadap pengangguran di Indonesia," kata Suyanto.

Ia mengatakan, Depdiknas siap membantu daerah-daerah yang ingin mendirikan SMK, baik berupa bantuan guru-guru maupun program, kurikulum, dan bantuan menentukan jenis SMK yang cocok untuk suatu daerah.

Namun demikian, SMK itu juga harus sesuai dengan potensi wilayah dan kebijakan daerah itu di masa mendatang.

Alternatif lainnya ada program penyisipan SMK di SMA. Artinya, selama ini jurusan yang terkait dengan kejuruan dimasukkan dalam salah satu jurusan di SMP, kini dialihkan juga ke SMA.

Dalam kaitan ini, Bupati Bantul, Jateng M Idham Samawi dan Bupati Ende, Flores, NTT Paulinus Domi yang hadir dalam acara itu menyambut baik program penyisipan tersebut dan siap menindaklanjutinya dengan Depdiknas soal teknisnya.

Sebelumnya, Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Depdiknas, Gatot Hari Prijowirjanto yang bertindak sebagai ketua seksi substansi Rembug Nasional mengatakan Depdiknas siap membantu daerah-daerah yang ingin mendirikan SMK, baik dalam bentuk bantuan guru-guru, program, kurikulum, maupun bantuan untuk menentukan jenis SMK yang cocok untuk suatu daerah.

"SMK itu juga harus sesuai dengan potensi wilayah dan kebijakan daerah itu pada masa mendatang," ujarnya.

Menanggapi usulan tersebut Bupati Bantul, Jateng, M Idham Samawi dan Bupati Ende, Flores, NTT Paulinus Domi yang hadir dalam acara itu menyambut baik program penyisipan tersebut dan siap menindaklanjutinya terkait teknis pelaksanaannya.

Bupati Bantul mengakui lulusan SMA lebih banyak menganggur ketimbang lulusan SMK, khususnya di wilayahnya. Contohnya, dari total 6.267 lulusan SMA yang menjadi penganggur 4.200 orang. Sisanya, sebanyak 1.114 orang meneruskan kuliah dan 911 lulusan bekerja.

Mengantisipasi hal tersebut, Bantul juga menyiapkan untuk membangun lima SMK di wilayahnya. Antara lain, SMK Kelautan dan SMK Pertukangan.

"Kami sudah menyetop izin untuk membangun SMA baru, tapi akan terus memperbanyak SMK," katanya sambil menambahkan rasio SMK dan SMA di wilayahnya bahkan sudah mencapai 40:60.

Sedangkan, Bupati Ende Paulinus Domi mengatakan kebijakan untuk memperbanyak SMK itu perlu didukung dengan bantuan guru-guru dan prasarana lainnya. Sekarang ini di Ende terdapat tujuh SMK dan 20 SMA.

"Kami siap melakukan program yang ditawarkan itu dengan istilah SMA terpadu itu, yaitu penyisipan jurusan SMK di SMA. Bahkan, saat ini fokus anggaran kabupaten lebih banyak ke sektor pendidikan. Untuk 2007 mendatang diharapkan sudah mencapai minimal 20 persen.

sumber: http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=849&Itemid=700

Pendidikan Dasar Gratis Sudah Saatnya Diberlakukan

SUDAH lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan.

TERLEBIH lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun-masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat.

Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education bukan universal education. Wajib belajar terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.

Di China pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik.

Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda. Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib belajar sembilan tahun.

Negara super power seperti Amerika Serikat dalam masa perang dingin, sekitar tahun 1981, sempat khawatir dengan ketertinggalan pendidikannya sehingga muncullah laporan A Nation at Risk. Laporan tersebut mengatakan bahwa yang menyebabkan ketertinggalan Amerika dalam persaingan global antara lain karena buruknya pendidikan. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, pandangan yang muncul pada tahun 1983 itu perlu dievaluasi. Apakah benar bahwa saat itu AS dalam bahaya dan berisiko? Dengan kemenangan AS dalam perang dingin memang tidak semua laporan itu benar.

Namun, pandangan tersebut juga menyajikan kenyataan pahit, yakni dengan status sebagai negara adidaya ternyata masih banyak anak di AS yang drop out dari sekolah. AS kemudian menganggap perlu peraturan dalam melaksanakan wajib belajar sehingga lahir undang-undang yang terkenal dengan sebutan "No Child Left Behind". Dengan undang-undang ini, berbagai jenis pendidikan, mulai dari sekolah yang diadakan oleh keluarga di rumah hingga etnis minoritas, ditanggung negara.

MENGAPA pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bagi negara maju pendidikan gratis-selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan. Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri sudah kecil. Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.

Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.

Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial akan berkurang. Dalam "ketegangan" tersebut, persoalan sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama ini di Indonesia. Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya.

Di sinilah sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah pendidikan. "Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan. Kita harus pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi. Sebagai contoh, jika menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat. Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan," kata HAR Tilaar.

SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.

Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar.

Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar. Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan.

Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan. Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.

Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala setahun dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4 triliun. Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara.

Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah khusus. Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai anak atau tidak. Di Belanda rata-rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60 persen. Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin.

Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher pendidikan. Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi. Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?

Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.

Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.

Selain itu, para pemimpin harus menyadari pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju?


sumber: http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/Pendas33.asp

Pendidikan Dasar dan Dasar Pendidikan

Pendidikan merupakan investasi yang sangat penting dan berharga dalam hidup ini. Itulah sebabnya orang tua kita berani berkorban apa saja demi pendidikan anakanaknya. Tetapi karena sangat penting itu juga yang mungkin menyebabkan biaya pendidikan di negeri kita teramat tinggi. Karena biaya pendidikan terlalu tinggi menyebabkan banyak anak-anak yang putus sekolah atau bahkan tidak mampu untuk bersekolah. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional dan kemudian dibantu oleh Pemerintah Daerah kemudian mencanangkan pendidikan dasar yang harus ditempuh oleh masyarakat mulai dari pendidikan dasar enam tahun, sembilan tahun dan entah berapa tahun lagi akan dicanangkan untuk pendidikan dasar.

Pendidikan dasar terdiri dari dua kata yaitu “pendidikan” dan “dasar”. Diketahui sangat banyak definisi pendidikan. Menurut pengertian Yunani pendidikan adalalah “Pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak. Bangsa Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yaitu : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Pendidikan Dasar berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan serta proses perbuatan pada level dasar. Pendidikan dasar dibuat sebagai pondasi untuk melangkah ke Pendidikan Menengah dan kemudian ke Pendidikan Tinggi. Namun dalam kenyataanya apa yang dirumuskan tidak segaris lurus dengan definisi-definisi di atas. Sangat banyak anak yang sudah memiliki pendidikan dasar tetapi belum punya kemampuan untuk melakukan pengubahan sikap dan tata laku.

Apa yang tergambar saat ini, menyelesaikan pendidikan adalah keluar dari bangku sekolah dengan mendapatkan surat tanda tamat belajar ataupun bukti kelulusan. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi batas dari pendidikan dasar ini ? Apakah Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama atau yang lainnya. Apabila ditentukan dengan jenjang sekolah, batas ini akan sangat dinamik, karena faktanya pendidikan juga identik dengan lapangan pekerjaan.

Rumusan yang semestinya dibahas adalah bagaimana meletakkan ”dasar pendidikan” karena dasar pendidikan lain dengan pendidikan dasar. Dasar pendidikan adalah meletakkan pondasi yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup. Apabila kesempurnaan hidup tidak tercapai berarti pendidikan belum membuahkan hasil yang menggembirakan.


sumber: http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/Pendas32.asp

Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan

Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).

Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.

Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.

Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.

“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi” - Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta

Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).

Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.

Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.

Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.

Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.(beritajakarta)


sumber: http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/PeMen29.asp

Relevankah Pendidikan Menengah ??

Selama beberapa dekade, pendidikan formal telah menjadi bagian alami dari kehidupan masyarakat moderen sedemikian sehingga kita melihat sekolah sebagai prasyarat untuk menjalani kehidupan yang produktif. Mereka yang tidak bersekolah hampir dapat dianggap akan tersisih dari tatanan masyarakat moderen, tanpa adanya pilihan maupun keberuntungan.

Namun bagaimana sebenarnya pendidikan formal, terutama sekolah menengah, memberikan kontribusi terhadap masyarakat Indonesia? Dua berita di Kompas mengindikasikan bahwa hanya 17,2% dari 28 juta penduduk Indonesia usia 19-24, dan 6,2% dari 306.749 murid di SMP Terbuka yang dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi (5 Agustus 2008).

Padahal kebanyakan SMU, terutama SMUN, masih menekankan hafalan terhadap lebih dari selusin mata pelajaran setiap minggunya dan mempersiapkan siswa untuk Ujian Nasional, dengan harapan kebanyakan dari lulusan sekolah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun ternyata upaya ini hanya mencakup 17,2% pemuda-pemudi Indonesia. Lalu apakah fungsi pendidikan di sekolah menengah bagi 82,8% ‘sisa’nya?

Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 1 di Desa Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya mengamati siswa-siswi di kelas Kimia sedang belajar menghitung lokasi atom pada tabel periodik untuk mengidentifikasi jenis zatnya. Padahal sekolah tersebut tidak memiliki dana untuk melangsungkan eksperimen di laboratorium kimia, sehingga kemungkinan besar siswa-siswi tidak akan pernah melihat zat-zat kimia yang telah mereka identifikasikan.

Walaupun sebagian dari lulusan SMAN 1 berencana melanjutkan ke universitas, lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja dengan menggunakan ijazah SMA mereka sebagai satu-satunya modal. Di desa yang berpenduduk 22.117 orang, hanya 7% lulusan SMU dan 1,2% lulusan diploma dan sarjana. Dengan kata lain, hanya sekitar 14,6% lulusan SMU yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (Kecamatan Marangkayu, 2008). Lalu apakah gunanya kemampuan untuk mengidentifikasi jenis zat sebuah atom untuk kehidupan dan masa depan kebanyakan murid disana? Nyaris tidak ada.

Ijazah SMU telah dianggap sebagai paspor untuk memasuki dunia kerja, padahal Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan dari 10 juta pengangguran usia kerja, 55% berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Jelas, lulusan sekolah menengah tidak dipersiapkan dan tidak memiliki ketrampilan untuk memasuki dunia kerja.

Pendidikan menengah di Indonesia sangat terfokus pada pengembangan kemampuan akademik menuju universitas, dan karenanya tidak – atau lebih tepatnya belum – relevan bagi mayoritas pemuda-pemudi Indonesia. Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu, pendidikan menengah seperti apa yang lebih relevan?

Mengambil Desa Marangkayu sebagai contoh kasus, 78% perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara datang dari bidang pertambangan dan penggalian, dan 11% dari pertanian (ProVisi Education, 2007). Sementara di Desa Marangkayu 28,4% bekerja di bidang pertanian dan perkebunan karet, 5% karyawan, 1,7% wiraswasta, dan 2,8% bekerja di bidang pertukangan, nelayan, dan jasa, sementara sisanya tidak terdata (Kecamatan Marangkayu, 2008).

Dengan kata lain, sedikitnya 78% sumber perekonomian tidak melibatkan peran dan belum mensejahterakan kebanyakan warga Desa Marangkayu. Dapatkah pendidikan menengah mencoba mengatasi kesenjangan antara kualitas sumber daya manusia dengan kemampuan untuk mengolah sumber alam lokal? Bukankah pekerjaan kebanyakan penduduk di bidang pertanian dan perkebunan karet seharusnya dapat dijadikan sumber pembelajaran?

Saya tidak menyarankan agar semua sekolah menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara berbondong-bondong memfokuskan perhatiannya pada bidang pertambangan, penggalian, dan pertanian. Namun dari pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya alam lokal, pembelajaran di sekolah dapat bersifat lebih kontekstual dan bermakna bagi keberlangsungan kehidupan dan kemajuan komunitas lokal.

Misalnya, dalam pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi, siswa dapat meneliti asal usul keberadaan Desa Marangkayu, latar belakang sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan permasalahan sosial. Dalam pelajaran Geografi siswa dapat mendatangi lahan-lahan pertambangan, perminyakan, pertanian, dan perkebunan untuk mengkaji perbedaan antar lahan. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan pelajaran Biologi yang mengkaji kondisi dan masalah lingkungan, ekosistem, jenis tanaman dan binatang lokal, dll.

Kemampuan siswa dalam mewawancara, menganalisa, dan membuat laporan mengasah ketrampilan interpersonal, berpikir, dan berbahasa Indonesia. Pengetahuan tentang sumber daya lokal, dari rumput-rumput ilalang, berbagai jenis daun, dan batu-batuan dapat dijadikan bahan dasar untuk pelajaran Kesenian dan Teknik Ketrampilan, yang hasilnya dapat dijual ke kota terdekat untuk menjajagi kemampuan berwiraswasta.

Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan memberikan ketrampilan dan pengetahuan lokal yang memungkinkan sebagian besar siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, tanpa mengesampingkan pengetahuan akademik bagi mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dari pembahasan contoh kasus di atas, tersirat bahwa solusi untuk permasalahan pendidikan menengah yang lebih relevan membutuhkan kajian mengenai kondisi lokal sehingga solusinya bersifat kontekstual terhadap komunitas. Kondisi komunitas yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula.

Pendidikan menengah yang kita kenal sekarang baru memberikan tawaran solusi yang diseragamkan dengan menggunakan sebagian kecil penduduk Indonesia sebagai tolak ukur. Sementara untuk mayoritas penduduk, masih perlu dikaji dan dirumuskan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih relevan, yang kemungkinan besar belum kita kenal sekarang.


sumber: http://ruangjeda.blogspot.com/2008/08/relevankah-pendidikan-menengah.html

Mengkritisi Pendidikan Dasar Gratis

Di sektor pendidikan (dasar), berkaitan dengan kenaikan harga BBM tersebut, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono begitu gencar melakukan sosialisasi pendidikan gratis di berbagai media. Pemerintah terus mengampanyekan bahwa dengan dialihkannya sebagian subsidi BBM ke pembiayaan pendidikan, maka pendidikan dasar akan dapat dinikmati rakyat secara gratis (Kompas, 21 Maret 2005). Pertanyaannya, mungkinkah pendidikan dasar gratis bagi seluruh siswa SD negeri di Indonesia tersebut dapat diwujudkan? Tulisan berikut ini mencoba menelaahnya.

TAK ada yang membantah bahwa pendidikan adalah kunci kehidupan. Melalui pendidikan, setiap manusia "dimanusiakan" sehingga ia bisa hidup dan dapat menikmati serta memaknai kehidupannya secara bermartabat.

Oleh karena itu, setiap manusia mempunyai hak untuk mendapatkan akses pendidikan yang memungkinkannya memiliki kesadaran kritis dalam menyikapi dinamika dan fenomena yang terjadi di masyarakatnya. Dengan demikian, tersedianya pendidikan berbiaya murah-apalagi gratis seperti yang dijanjikan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini-menjadi sangat penting

Meski demikian, sikap kritis kita terhadap kebijakan pemerintah tersebut harus tetap dilakukan. Ini menjadi penting mengingat untuk mewujudkan pendidikan gratis bagi seluruh siswa SD negeri di Indonesia, seperti yang dijanjikan pemerintah, bukanlah perkara mudah. Upaya mewujudkan pendidikan gratis tersebut hendaknya tidak dilakukan secara terputus-putus, melainkan harus dilakukan secara berkesinambungan, dengan penuh persiapan dan perhatian.

Terhadap keinginan pemerintah menggratiskan pendidikan dasar, menurut pakar pendidikan yang juga Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Suyanto PhD, itu tidak dapat dilakukan secara terputus-putus. Untuk itu, perlu dirancang pola distribusi anggaran yang tepat agar dana untuk menggratiskan pendidikan dasar itu tidak sampai putus di tengah jalan, karena hanya akan menjadi sia-sia.

Dalam kerangka inilah pemerintah mesti cermat dan realistis dalam menyusun dan menetapkan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan dasar gratis bagi seluruh siswa SD negeri di seluruh Indonesia. Mengingat jumlah anggaran pendidikan yang tersedia saat ini, hampir dapat dipastikan bahwa pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk menggratiskan pendidikan SD negeri secara keseluruhan. Mari kita lihat perhitungan berikut ini.

Data Balitbang Depdiknas (2004) berkaitan dengan analisis biaya satuan pendidikan (BSP) untuk pendidikan dasar dan menengah, biaya yang dikeluarkan oleh orangtua siswa meliputi: (1) buku dan alat tulis sekolah, (2) pakaian dan perlengkapan sekolah, (3) akomodasi, (4) transportasi, (5) konsumsi, (6) kesehatan, (7) karyawisata, (8) uang saku, (9) kursus, (10) iuran sekolah, dan (11) foregone earning.

Berdasarkan data tersebut, BSP yang harus dikeluarkan orangtua siswa yang anaknya bersekolah di SD negeri mencapai angka Rp 5,967 juta, di SD swasta Rp 7,506 juta. Sementara yang anaknya bersekolah di SMP negeri mencapai angka Rp 7,528 juta dan di SMP swasta mencapai Rp 7,862 juta (Ki Supriyoko, 2005).

Jika memang seperti yang dikampanyekan pemerintah bahwa pemerintah-berkaitan dengan kenaikan harga BBM tersebut-akan menggratiskan pendidikan dasar di SD negeri seluruh Indonesia, maka untuk SD negeri saja dana kompensasi yang harus dikeluarkan pemerintah adalah Rp 143,56 triliun. Belum lagi untuk SD swasta, SMP negeri, dan SMP swasta.

Dari jumlah dana ratusan triliun rupiah yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menggratiskan pendidikan dasar di seluruh SD negeri di Indonesia tersebut, jelas sekali bahwa pemerintah tidak akan mampu mewujudkannya. Dana kompensasi kenaikan harga BBM untuk pendidikan yang hanya Rp 5,6 triliun itu tidak ada apa-apanya.

UNTUK itu, agar pemerintah (Depdiknas) tidak kehilangan muka, maka rekomendasi yang mesti dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, pemerintah harus secara tegas menjelaskan batasan pendidikan dasar gratis bagi seluruh siswa di SD negeri di seluruh Indonesia itu dalam hal apa saja. Gratis yang dimaksudkan tersebut apakah hanya sumbangan BP3-nya (baca: SPP) atau keseluruhan kebutuhan biaya pendidikan siswa selama mengikuti dan menuntaskan pendidikannya di tingkat dasar. Klarifikasi tentang batasan pendidikan gratis yang dimaksudkan itu mutlak dilakukan agar tidak terjadi misunderstanding dan miskonsepsi.

Kedua, efisiensi pendanaan pendidikan. Pendanaan pendidikan yang selama ini begitu memberatkan orangtua, apalagi sesungguhnya pengeluaran tersebut tidak berkaitan secara langsung dengan proses pembelajaran, harus segera dipangkas.

Ketiga, kalau memang pemerintah (Depdiknas) sunguh-sungguh mempunyai political will yang kuat untuk memajukan dunia pendidikan, khususnya pendidikan dasar, maka untuk menutupi kekurangan alokasi dana pendidikan dasar gratis tersebut, pemerintah (termasuk pemerintah daerah) harus mencari alokasi dana alternatif.

Keempat, mengingat jumlah dana kompensasi yang dibutuhkan ternyata sangat besar untuk menggratiskan pendidikan dasar di SD negeri di seluruh Indonesia, maka efektivitas pola pemberian beasiswa seperti yang telah dilakukan saat ini dapat menjadi pilihan yang sangat elegan dan realistis yang dapat dilakukan pemerintah.

Itulah catatan yang mesti didiskusikan agar pemberian dana kompensasi BBM di sektor pendidikan dasar tersebut tepat sasaran dan berhasil sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Jika tidak, kekhawatiran banyak pihak bahwa pelayanan pendidikan dasar gratis yang dijanjikan pemerintah tersebut hanyalah lips service semata akan menjadi kenyataan.


sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0504/11/Didaktika/1673011.htm

Mau ke Mana Pendidikan Dasar Kita?

MUNGKIN kita perlu bersyukur karena hampir semua anak Indonesia telah memperoleh akses pendidikan dasar. Meski
demikian, kita juga perlu mawas diri. Dalam rangka mawas diri inilah, saya tidak tahu kita harus menangis atau tertawa
jika menengok aneka indikator yang tersedia untuk dikaji.
Salah satu komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu Rata-rata Lama Pendidikan, menunjukkan angka- angka
yang kurang membanggakan, terutama setelah merdeka lebih dari setengah abad. Angka tertinggi dimiliki Jakarta (9,7
atau setara dengan lulus SLTP), terutama Jakarta Selatan (10,0 atau setara dengan kelas I SMA), dan terendah adalah
Nusa Tenggara Barat (5,2 atau setara dengan kelas V SD) dan Kota Sampang, Jawa Timur (2,5 atau tidak sampai kelas III
SD). Apa sebabnya? Setelah lebih dari 60 tahun pendidikan nasional pascapenjajahan, generasi dengan lama pendidikan
0-10 tahun seharusnya sudah berganti dengan mereka yang memperoleh akses lebih baik. Mari kita memeriksa dua
indikator penting sebagai berikut:

Akses terhadap pendidikan

Akses terhadap pendidikan memberikan informasi kepada publik tentang berapa banyak anak kita yang dapat
memanfaatkan fasilitas pendidikan yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat. Indikator yang digunakan adalah:
Angka Partisipasi, Angka Mengulang, Angka Putus Sekolah, Angka Kelulusan, Angka Melanjutkan, dan Angka
Penyelesaian. Angka-angka ini bersumber pada data Depdiknas 2002. Di tingkat sekolah dasar (SD/MI) hampir semua
indikator cukup memuaskan. Angka Partisipasi tahun 2002 cukup tinggi (APM: 94,04; APK: 113,95; dan APS: 98,53), berarti
hampir semua anak usia 7-13 tahun tertampung di sekolah. Angka Mengulang (5,4 persen) dan Angka Putus Sekolah (2,7
persen) cukup rendah.

Persoalan timbul ketika kita mengamati Angka Menyelesaikan (tepat waktu) dan Angka Melanjutkan. Meski kebanyakan
anak yang melanjutkan ke SD/MI akan lulus, tetapi hanya sekitar 71,8 persen yang berhasil menyelesaikan sekolah tepat
waktu (enam tahun). Angka Melanjutkan juga amat mengkhawatirkan, karena hanya separuh (51,2 persen) yang akhirnya
melanjutkan ke SMP/MTs.

Angka Partisipasi di SMP/MTs dan tingkat selanjutnya amat dipengaruhi Angka Menyelesaikan dan Angka Melanjutkan
yang relatif rendah. Di tingkat SMP/MTs, Angka Partisipasi 2002 cukup tinggi (APM: 59,18; APK: 77,44; APS: 77,78) dan
Angka Mengulang (kurang dari 0,5 persen untuk semua kelas) dan Angka Putus Sekolah (3,5 persen) juga cukup rendah.
Sekali lagi yang mengganggu adalah Angka Menyelesaikan karena hanya 45,6 persen yang sanggup menyelesaikan
sekolah tepat waktu.

Kualitas pendidikan

Sebagai bangsa yang menyongsong kemajuan Iptek yang amat pesat, kita masih harus berkutat dengan kualitas
pendidikan. Terlepas dari kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional, hasil yang diperoleh adalah baik di tingkat
SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan kurang dari 60 persen dari materi belajar yang dikuasai siswa. Ini amat
merisaukan. Jika standar kualitas itu digunakan untuk menilai kualitas sekolah di tingkat SMP/ MTs, maka hanya 24,12
persen SMP/MTs yang masuk kategori "sedang" ke atas. Di antara mereka hanya 0,03 persen yang tergolong "baik sekali"
dan 2,14 persen tergolong "baik".

Jika rasio guru : siswa (1 : 23) dan siswa : kelas dijadikan salah satu tolok ukur kualitas, maka kesan yang diperoleh
adalah standar mutu telah dipenuhi. Meski demikian, pengamatan di lapangan menunjukkan distribusi guru dan kelas
memang tidak merata, terutama antara kota dan desa. Selain itu, untuk semua provinsi masih ada sekolah-sekolah SD/MI
maupun SMP/ MTs yang harus melakukan jam masuk sekolah ganda (double shift) karena kekurangan ruangan.
Ketersediaan Laboratorium IPA, Bahasa, dan IPS baru dinikmati 68 persen dari sekolah SMP/MTs yang ada meski tanpa
ada informasi tentang kelayakan fasilitas yang ada. Kualitas fisik yang digunakan sebagai tolok ukur adalah kerusakan
atau kelayakan ruang kelas. Data menunjukkan, kurang dari separuh (42,82 persen) fasilitas ruang kelas SD/MI
berkategori "baik" dan pada tingkat SMP/MTs 85,78 persen dalam kategori itu.

Kualitas guru sudah menjadi perhatian nasional. Kriteria kualitas ditentukan dengan prasyarat pendidikan, yaitu D2 untuk
mengajar di SD/MI dan D3 untuk SMP/MTs. Berdasarkan kriteria itu, hanya 49,9 persen guru SD/MI dan 66,33 persen guru
SMP/MTs yang memenuhi standar kualitas. Sayang, standar kompetensi bidang pelajaran fakultatif tidak tersedia.
Akses terhadap buku pelajaran wajib merupakan tolok ukur kualitas yang penting. Pada tingkat SD akses terhadap buku
adalah 75 persen untuk bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Angka akses terhadap buku
menyembunyikan keragaman antarprovinsi. Dari data yang tersedia masih ada kesenjangan dalam akses terhadap buku
wajib yang berkisar dari 38,8 persen sampai 99,3 persen (persentase penyediaan buku yang paling rendah adalah buku
IPA).

Mencari solusi

Rata-rata akses terhadap buku pelajaran wajib pada tingkat SLTP sebesar 70 persen dengan kesenjangan berkisar dari
37,6 persen sampai 99,5 persen. Dari data yang ada, penyediaan buku-buku IPA, Fisika, dan Biologi masih terbatas.
Selain akses, mutu dari isi pelajaran juga mungkin bermasalah. Menurut analisis Sri Redjeki (1997), sebagai contoh,
ditemukan isi buku-buku teks biologi SD-SLTA di Indonesia tertinggal 50 tahun, begitu pula dengan buku teks geografi
SLTP yang menunjukkan banyak informasi yang disajikan sudah usang.

Solusi yang baik berawal dari pengetahuan yang baik atas masalah. Data-data itu tersedia di lingkungan departemen.
Artinya, semua birokrat pendidikan tahu masalah dalam angka itu. Meski demikian, ada aneka masalah lain yang
diketahui, tetapi tak pernah dijadikan kajian serius dalam policy making. Misalnya, kita tahu dengan subsidi pemerintah,
masyarakat mampu menyekolahkan anak ke SD meski masih banyak yang terseok-seok karena biaya yang dipaksakan,
yaitu buku pelajaran nonterbitan Depdiknas, seragam, sepatu, serta transportasi dan makanan (jajan) untuk anak. Pada
tingkat SLTP, biaya jauh lebih besar. Persoalan ini klasik, tetapi solusi tak ada yang signifikan. Orangtua masih
dipermainkan sekolah yang tidak menggunakan buku terbitan Depdiknas, membeli seragam dan membayar ongkos
transpor dan makanan anak sendiri.

Hal lain yang juga diketahui adalah pengelolaan pendidikan di Indonesia dilakukan Depdiknas dan departemen lain,
khususnya Departemen Agama. Investasi pada sekolah di kedua departemen ini amat berbeda sehingga menciptakan
kesenjangan mutu. Kita tahu sekolah-sekolah berbasis agama di bawah Departemen Agama banyak dilakukan dalam
skala amat kecil sehingga anak tidak terjamin kelanjutan studinya. Masalah ini diketahui, tetapi jarang dibahas karena
sensitif.
Kita juga tahu banyak sekolah SD yang rusak dan tidak layak pakai, tetapi aneka keluhan bagai teriakan di padang pasir.
Penyebabnya jelas, tanggung jawab pembangunan ada di tingkat kabupaten (Depdagri melalui kantor dinas). Selain
persoalan korupsi, tidak semua pemerintah lokal mempunyai komitmen yang tinggi pada sektor pendidikan.
Kita sadar mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan komitmen guru, tetapi kita tidak dapat melawan kehendak zaman
yang kian alergi dengan sekolah keguruan, IKIP, atau FKIP. Profesi guru menjadi tidak menarik di banyak daerah karena
tidak menjanjikan kesejahteraan finansial dan penghargaan profesional.
Kita tahu untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar secara menyeluruh diperlukan komitmen tinggi masyarakat dan
pemerintah. Masalah ini sering menjadi wacana politik dan tetap tinggal sebagai wacana seperti dalam grafik berikut.
(grafik)

Dibandingkan dengan negara-negara serumpun, komitmen Indonesia sampai tahun 1999- 2001 adalah yang terendah.
Kenyataan ini sudah lebih dari dua dasawarsa.
Menghadapi semua masalah yang seharusnya dapat diatasi satu per satu secara serius, kita justru sibuk mengutak-atik
kurikulum, "bermain-main" dengan Ujian Nasional, bereksperimen dengan sistem pengelolaan sekolah, sibuk dengan
menata kembali peristilahan, dan mengacuhkan berbagai persoalan yang jelas-jelas ada di depan mata. Padahal, semua
yang kita lakukan memerlukan sumber daya yang tidak sedikit yang akan lebih baik dialokasikan untuk menyelesaikan
hal-hal yang lebih mendasar dulu. Dalam menyaksikan berbagai gebrakan Depdiknas, kita bertanya: Mau dibawa ke mana
anak- anak kita? Jika pendidikan dasar dikelola seperti ini, sepuluh tahun lagi angka-angka yang sama akan kita jumpai.
Semoga tidak demikian!

Irwanto Dosen Fakultas Psikologi, Ketua Lembaga Penelitian Unika Atma Jaya, Jakarta

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/12/opini/1744895.htm

Sekolah Dasar Gratis

Apa itu sekolah gratis?

Istilah ”sekolah gratis” hanya ada dalam ucapan dan kata-kata. Ucapan itu hanya muncul dari para pejabat, khususnya para calon gubernur, bupati atau walokota. Terus terang, istilah ”sekolah gratis” tidak pernah ada dalam ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Tidak ada sepatah kata pun. Yang ada adalah adalah istilah PEMERINTAH WAJIB MEMBIAYAINYA dalam UUD 1945 dan TANPA MEMUNGUT BIAYA dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Marilah kita kutip saja kedua azas legalitas tersebut.

Pasal 31 (2) dalam UUD 1945 hasil Amandemen menyebutkan bahwa:

”Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan PEMERINTAH WAJIB MEMBIAYAINYA”

Sementara Pasal 34 (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa:

”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar TANPA MEMUNGUT BIAYA."

Jadi, makna amanat tersebut sebenarnya memang sama dengan ”gratis”. Itu tidak dapat dipungkiri. Tidak ada silang pendapat mengenai masalah ini. Tetapi, biaya apa saja yang harus gratis? Itulah pentingnya penjabaran lebih lanjut dari UUD dan UU tersebut. Itulah perlunya PP yang akan mengatur lebih lanjut tentang pengertian lebih lanjut mengenai ”PEMERINTAH WAJIB MEMBIAYAINYA” dan TANPA MEMUNGUT BIAYA”, termasuk apakah masyarakat sama sekali TIDAK BOLEH UNTUK BERAMAL? Apakah ketentuan ini harus memaksa orang tidak boleh membuka pintu sorga baginya? Heee. Itu semua harus dijabarkan lebih lanjut melalui ketentuan yang lebih operasional.

Contoh dari negeri jiran

Negeri jiran dapat kita jadikan contoh. Malaysia telah meluncurkan kebijakan ”Sekolah Rendah Percuma”. Jangan dulu tertawa. Istilah ”percuma” itu maksudnya sama dengan ”gratis”. Contoh yang lebih terasa aneh? ”Pintu Kecemasan”, apa lagi itu? Pintu darurat. Itulah artinya. OK. Sekolah Rendah sama artinya dengan Sekolah Rakyat tempo dulu atau Sekolah Dasar saat ini. Kapan kebijakan Sekolah Rendah Percuma dilaksanakan? Konon kebijakan ini telah dilaksanakan sejak tahun 1960-an. Wow sudah lama sekali!!! Tanpa acara pencanangan lagi!! Meski tanpa acara pencangan yang megah, kebijakan ini telah mampu memberikan akses yang demikian luas kepada anak usia Sekolah Rendah untuk menuntut pendidikan.

Mengapa gratis?

Mengapa harus gratis, atau PEMERINTAH WAJIB MEMBIAYAINYA atau TANPA MEMUNGUT BIAYA? Alasannya sudah tentu karena program wajib belajar. Latar belakang utamanya adalah agar semua anak usia wajib belajar dapat memperoleh akses belajar. Akses pendidikan tidak boleh memandang latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan semua latar belakang lainnya. Semua anak usia 7 – 15 tahun harus dapat memperoleh pendidikan yang bermutu. Itulah jawabannya.

Apakah dengan demikian tidak ada satu celah pun yang diperbolehkan kalau ada orangtua siswa yang mau membantu sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikannya? Kondisinya sangat beragam. Pelaksanaan sekolah gratis di banyak daerah kabupaten/kota di Indonesia telah melahirkan respon yang berlebihan. Ada dinas pendidikan yang mengancam untuk mencopotnya. Ada juga Bawasda yang tidak mau bertanggung jawab. Bahkan ada yang akan mendatangkan KPK segala. Dengan demikian, kebijakan sekolah gratis mempunyai dampak yang luar biasa negatif, yakni membunuh peranserta masyarakat. Bahkan ada daerah yang telah mulai berfikir untuk membubarkan Komite Sekolah, karena mereka berpandangan Komite Sekolah sudah tidak diperlukan lagi.

Apakah dengan sekolah gratis dapat meningkatkan mutunya?

Sudah tentu ini harus diteliti lebih lanjut oleh perguruan tinggi, atau lembaga penelitian yang memiliki otoritas untuk melakukan penelitian. Pintu telah terbuka untuk ini. Namun demikian, secara empiris banyak pihak, termasuk Dewan Pendidikan yang telah mencoba melakukan pengamatan tentang fenomena ini. Apakah apakah biaya pendidikan yang telah diberikan kepada sekolah melalui program sekolah gratis tersebut, yang sekolah sama sekali tidak boleh memungut uang dari orangtua siswa, sebenarnya telah dapat memenuhi kebutuhan sekolah? Inilah pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu. Berapa satuan biaya yang sesungguhnya yang diperlukan untuk memenuhi biaya pendidikan sesuai dengan standar pembiayaan? Tulisan ini tidak akan membicarakan ini secara mendetail.

Ketidakjelasan mengenai hal tersebut ternyata telah menyebabkan beberapa sekolah yang mengeluh tentang kekuarangan biaya, misalnya untuk ”menyediakan minum teh” untuk kepala sekolah dan gurunya. Biaya yang diberikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam rangka sekolah gratis tersebut ternyata tidak fleksibel untuk dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Keluhan semacam itulah yang muncul di arena tanya jawab yang muncul dalam pertemuan dengan Dewan Pendidikan dan Dinas Pendidikan.

Konsep yang belum jelas?

Berdasarkan uraian di atas, kemudian saya sampai kepada kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, bahwa konsep sekolah gratis masih perlu dijabarkan secara lebih rinci dengan ketentuan perundah-undangan yang lebih operasional. PP tentang Wajib Belajar atau PP tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sebenarnya harus dapat mewadahi pelaksanaan konsep ini. Apalagi jika dapat dijabarkan secara lebih rinci lagi dengan beberapa legislasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Provinsi dan kabupaten/kota sekarang ini masih juga mengalami kebingunan dalam membuat perda pendidikan. Mengapa? PP tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan belum juga terbit. Apa kapstoknya? Kata mereka.

Kedua, konsep sekolah gratis merupakan salah satu contoh dari konsep-konsep yang belum selesai, belum jelas, dan belum tuntas. Konsep ini masih membuat kebingunan bagi para pelaksana di lapangan, juga bagi masyarakat. Beberapa pertanyaan masih belum dapat dijawab secara pasti. Misalnya, (1) apakah biaya sekolah gratis itu hanya untuk memenuhi standar biaya minimal atau termasuk untuk peningkatan mutu pendidikan yang lebih optimal, (2) bagaimana dengan biaya untuk SBI (sekolah bertaraf internasional) dan sejenisnya, (3) apakah dengan konsep ini memang orangtua atau masyarakat sama sekali tidak boleh memberikan bantuan kepada sekolah?

Ketiga, tahun 2009 merupakan penghujung masa bakti pemerintahan SBY-JK, termasuk menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan. Harus dapat dipastikan agar pemerintah membuat laporan pertanggungjawaban tentang pelaksanaan bidang pendidikan selama masa baktinya. Laporan ini merupakan bentuk akuntabilitas nyata yang akan dijadikan bahan penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan di masa bakti berikutnya. Laporan Presiden tentang bidang pendidikan harus dibuat. Minimal laporan Mendiknas tentang bidang pendidikan, termasuk di dalamnya pelaksanaan amanat undang-undang tentang pendidikan, seperti PEMERINTAH WAJIB MEMBIAYAINYA dalam UUD 1945 dan TANPA MEMUNGUT BIAYA dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Refleksi

Sungguh! Janji adalah hutang. Janji para pemimpin kepada rakyatnya juga hutang yang harus dipertanggungjawabkan. Hutang kepada Tuhan dan rakyat. Mudah-mudahan kita semua dapat mempertanggungjawabkan hutang-hutang itu, termasuk konsep sekolah gratis yang belum selesai. Mudah-mudahan pembahasan tentang konsep sekolah gratis ini adalah membicarakan ide-ide besar kemanusiaan di abad ke-21 ini.



sumber: Website: http://www.suparlan.com; E-mail: bsuparlan [at] yahoo [dot] com.
Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif (bergabung dengan sekolah biasa) atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah (dalam bentuk Sekolah Luar Biasa/SLB).

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram.

sumber: republika

Senin, 23 Februari 2009

Riwayat Hidup Sang Blogger

Namaku Nur Husnul Chotimah Siregar. aku terlahir pada tanggal 9 februari 1990. aku merupakan anak ketiga dari 4 bersaudara yang terdiri dari 2 perempuan dan 2 laki-laki.

aku berasal dari keluarga sederhana yang tinggal di Jalan Tebet Barat Dalam Raya no.92, Jakarta Selatan. Ibuku adalah seorang Wiraswasta yang merangkap sebagai ibu rumah tangga, sedangkan ayahku sudah lebih dari 11tahun meninggalkan kami semua.

Pada umur 5 tahun aku sudah masuk ke TK nol kecil, yang hingga saat ini masih bernama TK. Dewi Sartika, tetapi aku tidak melanjutkannya ke TK nol besar. hingga pada akhirnya pada umur 6 tahun aku masuk Sekolah Dasar yaitu di SDN 03 Pagi. di SD aku termasuk murid paling pendiam sehingga aku susah untuk bergaul dengan teman sebaya. akibatnya adalah aku tidak mempunyai teman. setiap bel bermain berbunyi aku hanya terdiam saja didalam kelas sambil menghabiskan makanan jajananku.

Tetapi aku berubah menjadi anak yang sedikit supel ketika aku menginjak bangku SMP. ketika itu aku bersekolah di SMP negeri 15. disana aku mulai sedikit bergaul dengan teman-teman. akupun sempat memiliki beberapa sahabat di SMP. hal ini berlanjut hingga aku SMA. sedih rasanya berpisah dengan sahabat-sahabatku pada kala itu. Tetapi kesedihan itu tidak berlangsung lama karena ternyata aku diterima di SMA favorit, yaitu SMA 26. disanapun aku mulai bergaul dan bersahabat dengan teman-teman yang mempunyai karakter yang berbeda-beda hingga tiba saatnya aku lulus SMA pada tahun 2007.

Sekarang aku berkuliah di UNJ...
Awalnya Cita-citaku adalah masuk Universitas Indonesia (UI), bahkan tak pernah ada dalam benakku untuk masuk UNJ. pilihan pertamaku dalam formulir pendaftaran SPMB adalah UI dan aku sempat bingung untuk memilih pilihan yang kedua hingga aku mendapat nasihat dari temanku untuk memilih UNJ, karena katanya 'Chance' untuk masuk UNJ lebih besar daripada UI.
aku sangat berharap bisa masuk UI, tetapi takdir berkata lain, Tuhan lebih memilihkan UNJ untukku. Tetapi aku senang disini (UNJ), aku memiliki teman-teman yang baik, dosen-dosen yang bersahabat dan bijaksana, fasilitas pendidikan yang cukup memadai, dan biaya kuliah yang terjangkau dan tidak memberatkan orang tua..

Visi ku ke depan adalah:
"Menjadi Orang Yang Berguna Bagi Agama, Nusa&Bangsa, serta Keluarga"

dan Misi yang aku jalankan saat ini adalah:

  • Belajar dengan giat agar bisa lulus kuliah tahun 2011 (4 tahun) dan menyandang Gelar Spd
  • Berdoa kepada Allah SWT agar dilancarkan segala sesuatunya
Hingga pada akhirnya aku dapat mengikuti Seleksi Calon Guru dan menjadi Guru yang mencerdaskan anak bangsa dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia walaupun itu tidak mudah.